A. PENDAHULUAN
Agama merupakan suatu kekuatan besar yang mempunyai pengaruh cukup tinggi
dalam perkembangan peradaban dunia. Agama telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan
dalam diri manusia, dari zaman ke zaman. Hal ini adalah pendapat yang logis
oleh karena dari segi antropologis, sosiologis, dan kultural, agama tidak ada
tanpa masyarakat. Fenomena ini berdampak pada minat yang begitu besar terhadap
ilmu-ilmu yang bernafaskan agama. Dalam usaha penelitian agama, benar atau
salah bukanlah menjadi tujuan pokok dari aktivitas tersebut.
Agama dalam batas tertentu dapat dianggap sebagai akumulasi pengalaman
manusia dalam perjumpaan dan keberhadapannya dengan suatu relitas yang diyakini
menguasai dan menentukan nasibnya. Dalam istilah ilmu agama, realitas tadi bisa
disebut dengan Ultimate Reality,
atau Realitas Mutlak. Pengalaman manusia dalam beragama tadi mengekspresikan
diri dalam tiga bentuk atau sifat: teoritis atau pemikiran, praktis atau
perbuatan, dan sosiologi atau kelompok. Dalam setiap agama tentu dapat
ditemukan adanya tiga macam bentuk ekspresi atau ungkpan pengalaman keagamaan
tadi. Pertama, membentuk pemikiran keagamaan; kedua, perbuatan keagamaan;
ketiga, terwujud dalam berbagai bentuk masyarakat keagamaan.[1]
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap hal mempunyai persamaan sekaligus
perbedaan dengan hal-hal lainnya. Begitu pula dengan agama yang ada di
masyarakat. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan
menyebutnya dengan istilah yang sama, yaitu “agama”. Bila tidak ada perbedaan,
kita juga tidak akan menyebutnya dengan majemuk, “agama-agama”.[2]
Secara umum pula, dapat dikatakan bahwa dalam ajaran hampir seluruh agama
seseorang dapat menemukan dasar yang bersifat eksklusif dan inklusif. Sangat
sering, karena alasan psikologis, dasar yang bersifat ekslusif lebih populer
dan dikenal secara baik daripada yang inklusif. Inilah alasan mengapa para ahli
teologi yang telah mempelajari secara mendalam hingga akar agama, cenderung
berpikiran terbuka daripada mereka yang tidak mempelajari secara mendalam.
Jadi, setiap agama sudah sewajarnya melakukan usaha keras untuk dapat berbuat
adil terhadap dasar inklusif dari ajaran masing-masing agama, demi terciptanya
kehidupan yang harmonis.[3]
Kepelbagian nilai keagamaan yang pernah dihayati manusia sepanjang zaman
itu senantiasa mamiliki dasar-dasar yang mengandung persamaan-persamaan elemen
yaitu perasaan takut, khawatir, cinta dan percaya kepada Yang Maha Ghaib.[4]
Dalam makalah ini, penulis bermaksud menghadirkan beberapa ajaran yang sama
dalam beberapa agama. Pada dasarnya, semua agama di dunia ini mempunyai tujuan
yang sama, hanya saja terdapat perbedaan dalam dataran kaifiyat dan teologinya.[5]
B. PRINSIP KETUHANAN
“Satu Tuhan, banyak Agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi
manusia sekarang, sesudah sejarah tercatat manusia berlangsung kurang lebih
sejak enam ribu tahun lalu. Manusia sekarang didorong menuju kesadaran bahwa
pluralisme memang sungguh-sungguh merupakan fitrah kehidupan manusia.
Kepelbagaian agama merupakan fakta dan hukum Tuhan yang tidak dapat ditolak,
dan dalam kepelbagaian itulah manusia harus hidup bersama dan berhubungan satu
sama lain. Dalam konteks pluralisme semacam itu, klaim-klaim kebenaran (truth
claim) hanya relevan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat internal.[6]
Berbicara mengenai konsep ketuhanan, berikut akan penulis hadirkan bahwa
sesungguhnya masing-masing agama mempunyai paham yang sama akan ketuhanan,
yaitu adanya sebuah kekuatan yang maha dahsyat di alam semesta ini.
1.
Agama Islam
Menurut Islam, semua agama yang dibawa oleh oleh para nabi mengajarkan
prinsip-prinsip dasar yang sama. Semua nabi dan rosul menyeru dan mengajak
manusia untuk hanya patuh dan menyembah pada Tuhan yang Satu, baik dalam
keyakinan maupun perbuatan. Ajaran tentang keesaan Tuhan (tauhid) dan kepatuhan
kepada-Nya diyakini sebagai dua buah prinsip utama semua agama yang berasal
dari Tuhan. Hukum-hukum agama bisa saja berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
kondisi dan keperluan masyarakat penerima agama.[7]
“Tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah SWT”. Begitulah kalimat yang
menunjukkan bahwa Tuhan itu hanya satu. Tiada sekutu bagi-Nya.
Lebih jelas lagi tertera dalam surat
al-Ikhlas:
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha
Esa.
2.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3.
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4.
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."[8]
2.
Agama Yahudi
Agama Yahudi terkenal sebagai agama monotheisme absolut (tauhid) yang
meletakkan dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada tempat yang
pertama. Setiap orang Yahudi yang akan mengerjakan suatu pekerjaan, harus lebih
dahulu mengucapkan “Shemah”, yaitu ucapan sebagai berikut: “ Dengarkanlah,
hai bangsa Israel, Tuhan kita yang kita sembah adalah Maha Esa”. Pernyataan
ini termaktub dalam Ten Commandments agama Yahudi ini.
Musa datang dengan membawa agama yang memberantas konsepsi ketuhanan dari
bangsa-bangsa Babilonia, Mesir, Asiria, dan Medeterania dan lainnya, yang pada
masa itu mempertuhankan benda serta kekuatan alam semesta. Beliau
menggantikannya dengan konsepsi Tuhan yang monotheistis. Didalam kitab
perjanjian lama berkali-kali ditegaskan bahwa Tuhan itu hanya satu yaitu
Yahweh, yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir.[9]
3.
Agama Nasrani
Berbicara falsafah ketuhanan agama nashrani, maka pembahasannya tak lepas
dari falsafah TRINITAS, yaitu adanya “Tiga Oknum Ketuhanan”, Tuhan Bapa, Roh
Kudus, dan Yesus Kristus. Ketiganya merupakan kesatuan sebagai satu kebenaran
yang Esa. Menurut rumusan Nashrani, filsafat ketuhanan yang demikian itu tidak
boleh disebut polytheisme, tetapi harus dikatakan monotheisme, sebab oknum
kedua dan ketiga adalah bagian dari oknum pertama.[10] Ketiga-tiganya adalah
pribadi Allah dan ketiga pribadi tersebut adalah Allah. Semuanya Mahakudus,
Maha Sempurna, Maha Kuasa, dan Maha Kekal. Masing-masing memiliki satu
pengetahuan Illahi, satu Kehendak Illahi, satu kehidupan Illahi, sehingga
disebut dengan Tritunggal Yang Maha Kudus.[11]
Dengan istilah lain, Ketiganya adalah dalam ke-Esa-an, atau ke-Esa-annya dalam
ketigaannya.
4.
Agama Budha
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep
ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana
alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah
kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal. Namun,
budha juga mengakui bahwa ada sesuatu yang kekal. Berikut ini dalilnya:
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila
Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang tidak Diciptakan,
Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu,
karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,Yang Tidak Tercipta, Yang
Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,
pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu[12].
Ungkapan di
atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana
VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha.
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang
Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan,
Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan
Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang
tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan
dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak
berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai
kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
5.
Agama Hindu
Agama Hindu sering kali dianggap sebagai agama politheis. Namun, apabila
diteliti lebih lanjut akan kelihatan bahwa dalam salah satu ajaran Hindu juga
mempercayai bahwa ada satu kekuatan yang transenden, Tuhan yang Satu; tidak ada
duanya. Ungkapan Monotheisme murni dapat dilihat terutama dalam pengalaman
cinta pada Tuhan secara konkret dan mendalam (bhakti). Bhakti
Hindu berarti cinta dan penyerahan pada Tuhan, itu berarti Tuhan dibayangkan
sebagai Pribadi Maha Tinggi. Beberapa gambaran berikut akan memperlihatkan
dengan lebih jelas monotheisme agama bhakti:
Kabir:
“Tuhan adalah satu; tidak ada
duanya. Di surga, di dunia bawah, dalam bumi dan air, Rama yang melihat
semuanya.” Sudah mati Brahma, Vishnu, Mahesa; sudah mati Ganesha, putra
Parvati, sudah mati Bulan, Matahari, Dewa Ular. Hanuman, yang membangun
jembatan, sudah mati. Sudah mati Krishna, sudah mati si Pembuat. Hanya satu
yang tidak mati—Sang Pencipta. Kabir berkata, hanya Dia-yang tak terikat oleh
kedatangan dan kepergian-yang tidak mati. (Bijak, Sabda 45)
Manikkavacakar:
“Ada yang Transenden! Penguasa dari semua yang tinggi di
istana surgawi Yang abadi. Terpujilah! Pemberi rahmat segala
untukku,...Terpujilah! Engkau yang tiada bercela, yang membuat diriku, orang
yang terbuang ini menjadi milikmu. Anggapan bahwa ada dewa lain dari pada
Engkau, yang satu-satunya, tak akan dipeluk oleh jiwaku!”
Dengan
banyaknya pecinta Tuhan dalam Hindu, jelaslah motivasi utama monotheisme mereka
lebih bersifat religius daripada filosofis dan lebih didasarkan pada pengalaman
religius yang khusyuk daripada akal murni, meskipun akal digunakan juga untuk
membenarkan pengalaman mereka. Monotheisme Hindu ini memang cukup berbeda
dengan monotheisme Yahudi maupun Islam, sebab monotheisme agama ini menekankan
pada “kesadaran akan Tuhan” sebagai ciri khas sifatnya.[13]
Menyikapi permasalahan Ketuhanan ini, penulis merasa bahwa pada dasarnya setiap agama memiliki keyakinan bahwa dalam kehidupan ini terdapat konsep dasar Ke-Esa-an Tuhan, terlepas bagaimana corak masing-masing agama dalam mewujudkan Tuhan itu sendiri. Hal ini termasuk dalam kawasan Theologi, sehingga kita sebagai manusia tentu harus mengimani konsep Ke-Esa-an Tuhan sesuai ajaran masing-masing agama yang dipeluk, karena hal ini adalah hak setiap manusia yang tidak bisa dipaksakan. Setidaknya dari urain penulis, terdapat kesamaan konsep Ke-Esa-an Tuhan.
C. PRINSIP CINTA KASIH
Prinsip
cinta kasih dalam agama-agama terlihat cukup dominan. Hal ini tak lepas akan
kesadaran para pemeluk agama akan pentingnya sebuah kehidupan yang akrab dan
harmonis di antara manusia. Perlu digaris bawahi bahwa kehidupan yang harmonis
tak dapat terwujud tanpa disertai dan dilandasi rasa kasih sayang. Berikut beberapa
ajaran tentang kasih sayang
di masing-masing agama.
1. Agama Islam
Dalam
hubungan sosial kepada setiap makhluk Allah, termasuk hewan, tumbuhan, dan
lingkungan serta manusia pada umumnya, prinsip kasih sayang sangat perlu dan
mutlak sifatnya. Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadis nabi yang menunjukkan
anjuran untuk perilaku kasih sayang ini.[14]
Dalam salah satu hadis nabi disebutkan bahwa: “Barang siapa tidak menyayangi manusia, niscaya Allah tidak
menyayanginya (HR. Bukhari). Ungkapan dan ekspresi kasih sayang adakalanya
nampak formal dan adakalanya tidak terlihat (abstrak), karena kasih sayang
adalah cerminan dan refleksi hati.
Apabila
sikap kasih sayang ini sudah melekat dalam jiwa seseorang, maka dia akan
berusaha membantu bagaimana membuat orang merasa nyaman dalam menjalankan
aktvitasnya setiap hari. Idealitas kasih sayang yang diajarkan rosul adalah bahwa
ukuran kasih sayang yang semestinya diberikan oleh makhluk Allah yaitu seperti
kasih sayang terhadap dirinya sendiri. Sebesar apa kasih sayang kita pada diri
sendiri, sebesar itu pula kasih sayang yang dicurahkan pada orang lain.
Sebaliknya jika kasih sayang pada diri sendiri tidak berbanding lurus dengan
kasih sayang pada orang lain, Rasulullah menilainya dengan sebutan “tidak
beriman”.[15]
2. Agama Yahudi
Ajaran
cinta kasih dalam agama ini tak lepas dari nama agama ini sendiri. Menurut ibnu
Katsir, kata yahuud berasal dari kata al-hawadah yang berarti
cinta kasih. Kemudian dalam ajaran yahudi sendiri, cinta kasih menempati posisi
yang penting. Bagi mereka, mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri
sendiri adalah salah satu bentuk kebenaran. Menurut mereka pula, tidak ada
orang Yahudi yang dapat disebut cinta Tuhan, kalau tidak ada diantara mereka
berpegang teguh pada kebenaran yang salah satu bentuk kebenaran tersebut adalah
pengaplikasian cinta. Seseorang belum dapat dikatakan cinta Tuhan sebelum ia
mencintai orang lain dan tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.[16]
3. Agama Nashrani
Agama
Nashrani dikenal dengan prinsip kasih sayangnya yang begitu besar. Prinsip
kasih sayang dikenal sebagi inti ajarannya, yang merupakan penekanan ajaran
terhadap moral susila yang bersumber pada rasa kasih sayang sebagaimana yang
pernah dicontohkan oleh nabi Isa sendiri.[17]
Dalam hubungan dengan ajaran tersebut, agama Nashrani mengajarkan bahwa Tuhan
adalah sebagai Tokoh ke-Bapakan yang cinta kasih terhadap hambanya. Dengan kata
lain, prinsip kemanusiaan menjadi sumber ajaran dimana perasaan cinta kasih
menjadi dasar pokoknya. Perikemanusiaan yang memancar dari cinta kasih ini
meliputi dan meluas ke dalam sikap hidup antara sesama manusia dan sikap hidup
dalam hubungannya antara manusia dengan Allah. Perasaan cinta kasih Yesus
menyebabka dirinya rela mati di atas tiang salib sebagai penebus dosa manusia.
Berikut ini ajaran Yesus tentang sifat dan sikap luhur yang termaktub dalam
kitab injil mengenai prinsip cinta kasih:
a. Cintailah tetanggamu sebagai kamu
mencintai dirimu sendiri.
b. Saint
Paul berkata: Cinta adalah
kesabaran dan keramahan, cinta bukan iri hati atau kemarahan, ia bukan suatu
kekasaran…ia tidak menyambut gembira akan sesuatu yang salah, ia menyambut
gembira sesuatu yang benar. Cinta membuahkan segala sesuatu, mempercayai
sesuatu, mengharap-harap segala sesuatu, bertahan terhadap segala sesuatu,
cinta tak pernah berakhir (I. Cor. 13: 4-8).[18]
4. Agama Budha
Dalam
ajaran agama Budha, konsep tentang cinta kasih secara eksplisit terlihat dalam
dasadharma. Dan jika diteliti secara mendalam Terbukti
dalam Nikaya Pali, yaitu: Dhammapada ada
satu bab yang diberi judul: Piya Vagga yang berarti kecintaan. Begitu
pula dalam Majjhima Nikaya terdapat sutta yang berjudul Piyajatika Sutta,
yang merupakan khotbah tentang orang-orang tercinta.
Dalam Bahasa Pali juga ditemukan beberapa istilah cinta, seperti: piya, pema, rati, kama, tanha (jawa trenso), ruci, dan sneha yang memiliki arti: rasa sayang, kesenangan, cinta kasih sayang, kesukaan, nafsu indera (birahi), kemelekatan, dsb, yang terjalin antara dua insan berbeda jenis atau cinta dalam lingkup keluarga.
Adanya larangan membunuh membuktikan bahwa manusia harus mempunyai rasa kasih sayang terhadap sesama. Buddha pernah menyatakan:
Dalam Bahasa Pali juga ditemukan beberapa istilah cinta, seperti: piya, pema, rati, kama, tanha (jawa trenso), ruci, dan sneha yang memiliki arti: rasa sayang, kesenangan, cinta kasih sayang, kesukaan, nafsu indera (birahi), kemelekatan, dsb, yang terjalin antara dua insan berbeda jenis atau cinta dalam lingkup keluarga.
Adanya larangan membunuh membuktikan bahwa manusia harus mempunyai rasa kasih sayang terhadap sesama. Buddha pernah menyatakan:
“Lokopathambhika
Metta”, yang artinya adalah sebagai berikut.
Hanya dengan cinta
kasihlah yang dapat menyelamatkan dunia
ini.
Dalam menyelesaikan ketegangan, pertengkaran, dan kesulitan-kesulitan rumah tangga, bila seorang ayah hanya menggunakan kekuasaannya sebagai kepala rumah tangga; atau dengan berpendirian bahwa bila saya memiliki materi yang lebih banyak pasti semuanya bisa selesai; atau juga dengan menggunakan kekerasan supaya semuanya diam ketakutan; maka keharmonisan tidak mungkin bisa dicapai. Tetapi, bila sang ayah, ibu, dan anak-anak saling mempunyai rasa cinta yang tulus, ketentraman dan kedamaian pasti bisa tumbuh dalam keluarga, untuk dinikmati bersama. Juga dalam menghadapi problem yang lebih besar. Bila materi, kekuatan atau kekerasan diandalkan sebagai kunci untuk menyelesaikannya, maka problem tidak akan selesai dengan baik.
Tanpa adanya dasar cinta kasih, kecerdasan yang dimiliki seseorang bisa digunakan untuk menghancurkan kehidupan ini. Tanpa adanya dasar cinta kasih kepandaian bisa menjadi kejahatan dan kekejaman yang luar biasa. Tanpa adanya cinta kasih, ilmu pengetahuan bisa menjelma menjadi penghancur nilai-nilai kemanusiaan.[19]
Dalam menyelesaikan ketegangan, pertengkaran, dan kesulitan-kesulitan rumah tangga, bila seorang ayah hanya menggunakan kekuasaannya sebagai kepala rumah tangga; atau dengan berpendirian bahwa bila saya memiliki materi yang lebih banyak pasti semuanya bisa selesai; atau juga dengan menggunakan kekerasan supaya semuanya diam ketakutan; maka keharmonisan tidak mungkin bisa dicapai. Tetapi, bila sang ayah, ibu, dan anak-anak saling mempunyai rasa cinta yang tulus, ketentraman dan kedamaian pasti bisa tumbuh dalam keluarga, untuk dinikmati bersama. Juga dalam menghadapi problem yang lebih besar. Bila materi, kekuatan atau kekerasan diandalkan sebagai kunci untuk menyelesaikannya, maka problem tidak akan selesai dengan baik.
Tanpa adanya dasar cinta kasih, kecerdasan yang dimiliki seseorang bisa digunakan untuk menghancurkan kehidupan ini. Tanpa adanya dasar cinta kasih kepandaian bisa menjadi kejahatan dan kekejaman yang luar biasa. Tanpa adanya cinta kasih, ilmu pengetahuan bisa menjelma menjadi penghancur nilai-nilai kemanusiaan.[19]
5. Agama Hindu
Berbicara soal cinta kasih dalam agama hindu,
kita dapat melihatnya pada ajaran yoga, tepatnya pada Bhakti Yoga (cara
mencapai kelepasan dengan jalan cinta kasih). Ajaran ini secara jelas bahwa
dengan berbekal cinta kasih, manusia dapat mencapai kelepasan dari kehidupan
duniawi. Cinta kasih menduduki posisi cukup penting dalam proses menuju
kelepasan. Ungkapan cinta kasih akan Tuhan merupakan sikap dan perasaan
religius yang khas dengan ciri-ciri hakikinya, yakni kepercayaan, kecintaan,
dan penyerahan penuh kepada Tuhan. Inilah partisipasi afektif dari jiwa dalam
kodrat Illahi; suatu cinta yang begitu pekat kepada Tuhan. Dalam Svetasvatara
Upanishad dinyatakan bahwa hanya dia yang mencintai Tuhan secara paling utama
yang dapat memahami ajaran rohani yang terdapat di dalamnya. Di dalam
Bhagavadgita-lah cinta Tuhan diajarkan secara gamblang sebagai jalan
keselamatan.[20]
D.
KONSEP KESELAMATAN
Dapat ditemukan bahwa pada semua agama yang ada
selalu mengajarkan prinsip keselamatan bagi para pemeluknya. Semua ajaran yang
ada tak lain untuk mencapai keselamatan baik di kehidupan di dunia maupun
setelahnya. Berikut akan penulis
paparkan beberapa ajaran yang mengandung konsep keselamatan pada masing-masing
agama.
1.
Agama Islam
Dalam Islam secara jelas manusia adalah yang
paling luhur dari semua ciptaan. Semua orang lahir sebagai seorang muslim;
orang tuanyalah barang kali yang membuatnya lain. Guna memperoleh keselamatan
hidup, manusia diharuskan untuk melakukan beberapa perintah dan menjauhi
beberapa larangan. Muslim hendaknya melaksanakan imannya dengan menjalankan
pujaan (sholat, puasa, zakat, dll) dengan memperhatikan kaum miskin.
Gagasan dosa dalam islam terjadi apabila seorang
muslim melanggar larangan yang telah diajarkan oleh agama. Menurut teolog
muslim, kegagalan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah digariskan itu
mengakibatkan sikap yang keliru kepada Allah yang sangat berbahaya karena
mengantar orang kepada sikap tidak beragama dan adzab Illahi. Allah-lah
pemegang otoritas tunggal pemberi keselamatan. Allah dipandang sebagai
penyelamat orang yang Ia kehendaki. Oleh karena itu, tak ada jalan lain bagi
manusia apabia mengiginkan keselamatan, mintalah kepada Allah melalui
pelaksanaan ajaran-ajaran-Nya dan juga ikhtiar pribadi untuk memperoleh
keselamatan di dunia maupun di akhirat.[21]
2.
Agama Hindu
Key word untuk keselamatan adalah moksha atau mukti. Kata tersebut memuat makna
ketenangan, rasa aman, kepenuhan, dan kebahagiaan. Istilah-istilah yang mereka
gunakan untuk mengungkapkan tempat dari mana mereka mencapai keselamatan adalah
seperti berikut. Karma berarti tindakan baik yang bersifat ritual atau yang lainnya dan
menunjuk pada hukum tindakan secara umum.
Jalan rohani untuk menuju keselamatan ditentukan
oleh kodrat perbuatan. Agar memperoleh keselamatan, cara yang semestinya
dilakukan adalah dengan berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat. Untuk
menentang hasrat, caranya dengan mengawasi dan menakhlukkan nafsu seseorang,
mengarahkannya pada aktivitas yang tanpa pamrih lewat praktik-praktik askesis
dan membersihkan serta mengatasi semua hasrat dengan cinta yang mantap terarah
pada Tuhan. Sacara ringkas, cara untuk mencapai keselamatan adalah dengan
melaksanakan filsafat Yoga. [22]
Bagi kaum Teis Hindu, keselamatan berarti perwujudan akhir dari
ketergantungan total jati diri individu kepada Tuhan dalam persekutuan cinta,
penyerahan diri. Hal ini memberikan jiwa kebahagiaan yang terkhir. Jati diri
individual tidaklah kehilangan individualitasnya, melainkan dipersatukan dengan
Tuhan setelah dibebaskan dari kelahiran kembali.[23]
3.
Agama Buddha
Keselamatan dalam agama ini
berarti terbebas dari jahatnya kedukaan dan tercapainya nivana. Langkah pertama
yang dilakukan untuk memeperoleh keselamatan adalah dengan mengakui bahwa ia
berlindung di dalam Buddha, Dhamma (ajaran), dan Sangha (aturan). Lebih lanjut, dengan pengamalan delapan
jalan kebenaran, seseorang baru akan mendapat sebuah keselamatan. Seseorang
harus berusaha agar tidak masuk dalam kelahiran kembali, tapi masuk ke nirvana.
Kalaupun tidak, agar seseorang dapat terlahir kembali dalam keadaan baik.
Itulah konsep keselamatan dalam Buddhism.[24]
4.
Agama Yahudi
Yahudi senantiasa memberikan
kesaksian akan kepercayaan bahwa urusan utama mereka adalah memberi perhatian
yang mendalam untuk berharap dan bekerja demi kerajaan yang akan datang; yakni
dengan bertindak dan hidup menurut jalan Allah menuju keselamatan. Apapun yang
diperintahkan oleh Allah akan segera diikuti dan dilaksanakan sebagai kehendak
Allah untuk memajukan kehendak-Nya dan dengan demikian memberikan keselamatan
serta kebahagiaan individual. Dalam hal dosa, semua manusia berdosa menurut
tingkat-tingkatnya masing-masing. Taubatan yang benar-benar dapat menjadi
senjata ampuh untuk mengampuni perbuatan dosa yang telah dilakukan.[25]
5.
Agama Nashrani
Pengakuan dosa (absolusi) adalah sakramen yang perlu
diulang-ulang. Gereja mengajarakan bahwa seseorang akan diampuni jika ia mengakui
dosannya kepada Tuhan dengan disaksikan oleh salah satu dari utusNya di muka
bumi ini, yaitu seorang pastur. Orang tersebut harus
benar-benar bertobat dari dosa yang telah dilakukannya dan secara jujur
memutuskan untuk tidak melakukannya di
masa yang akan datang.[26]
Keselamatan manusia menurut iman kristiani teretak dalam
persatuan mesra dengan Allah sendiri. Oleh karena itu Allah sebagai keselamatan
bagi manusia disebut keselamatan tak tercipta (gratia increata).
Berpadanan dengan itu juga ada keselamatan tercipta (gratia creata),
yaitu nilai-nilai seperti kesehatan, hidup sesudah mati, rasa bahagia, dan lain
sebagainya.[27]
E.
PENUTUP
Keanekaragaman agama dalam
kehidupan dunia ini tak dapat ditentang oleh siapapun. Perbedaan merupakan
skenario kehidupan dari Tuhan yang tak seorangpun dapat menggantinya. Namun,
ketika ada perbedaan, pastilah ada sebuah persamaan. Inilah kiranya hal yang
tersaa penting dalam kehidupan. Dengan adanya kesadaran akan kepluralitasan agama
ini, keharmonisan diharapkan dapat terwujud. Sebuah kehidupan yang aman tentram
dalam masyarakat yang plural.
Pada dasarnya semua agama yang
ada selalu mengajarkan ha-hal yang mendukung kebahagian bagi manusia, walau ada
perbedaan dalam tata cara mendapatkannya. Dengan makalah ini, penulis mencoba menghadirkan beberapa persamaan ajaran yang terdapat dalam
agama-agama, dengan harapan kita akan saling menghargai keberadaan agama
sebagai suatu sistem kepercayaan bagi manusia. Biarlah perbedaan menjadi urusan
masing-masing agama.
Penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan yang ada dalam makalah ini. Makalah yang dibuat dalam proses
pembelajaran yang masih butuh waktu untuk mencapai kesempurnaan. Muncul dalam
benak penulis bahwa memang tiada gading yang tak retak. Dan karena keretakan
itulah penulis mengharap bimbingan dan koreksi dari Ibu Dosen Pengampu dan para pembaca demi
perbaikan dalam pembuatan makalah berikutnya.
[2] Fritzjof
Shuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj. Safrudin Bahar (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987), hlm. ix.
[3] Franz Magniz
Suseno (dkk), Memahami Hubungan antar Agama, (Yogyakarta: Elsaq PRESS,
2007), hlm. 30.
[5] Mengutip
keterangan Dr. Syafa’atun al-Mirzanah dalam kuliah Sejarah Agama-Agama tafsir
hadis khusus.
[8] Q.S. Al-Ikhlas: 1-4,
Microsoft word 2007.
[13] Mariasusai Dhavamony,
Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 126-127.
[14] M. Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), hlm. 76.
[16] Burhanuddin Daya, Agama
Yahudi, (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), hlm. 226.
[19]
Diakses dalam. www.iloveblue.com
jam 14.31, dengan menggunakan sumber KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 3; Sri
Paññavaro Thera
[26] Drs. H. Abu Ahmadi, Perbandingan
Agama, hlm. 204.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar