Terima kasih anda telah mengunjungi blog kami. Semoga bisa mengabil manfaat dari setiap isi yang kami tampilkan.

4.28.2012

KORELASI AJARAN AGAMA AGAMA


A.  PENDAHULUAN
Agama merupakan suatu kekuatan besar yang mempunyai pengaruh cukup tinggi dalam perkembangan peradaban dunia. Agama telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam diri manusia, dari zaman ke zaman. Hal ini adalah pendapat yang logis oleh karena dari segi antropologis, sosiologis, dan kultural, agama tidak ada tanpa masyarakat. Fenomena ini berdampak pada minat yang begitu besar terhadap ilmu-ilmu yang bernafaskan agama. Dalam usaha penelitian agama, benar atau salah bukanlah menjadi tujuan pokok dari aktivitas tersebut.
Agama dalam batas tertentu dapat dianggap sebagai akumulasi pengalaman manusia dalam perjumpaan dan keberhadapannya dengan suatu relitas yang diyakini menguasai dan menentukan nasibnya. Dalam istilah ilmu agama, realitas tadi bisa disebut dengan  Ultimate Reality, atau Realitas Mutlak. Pengalaman manusia dalam beragama tadi mengekspresikan diri dalam tiga bentuk atau sifat: teoritis atau pemikiran, praktis atau perbuatan, dan sosiologi atau kelompok. Dalam setiap agama tentu dapat ditemukan adanya tiga macam bentuk ekspresi atau ungkpan pengalaman keagamaan tadi. Pertama, membentuk pemikiran keagamaan; kedua, perbuatan keagamaan; ketiga, terwujud dalam berbagai bentuk masyarakat keagamaan.[1]
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap hal mempunyai persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya. Begitu pula dengan agama yang ada di masyarakat. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan menyebutnya dengan istilah yang sama, yaitu “agama”. Bila tidak ada perbedaan, kita juga tidak akan menyebutnya dengan majemuk, “agama-agama”.[2] Secara umum pula, dapat dikatakan bahwa dalam ajaran hampir seluruh agama seseorang dapat menemukan dasar yang bersifat eksklusif dan inklusif. Sangat sering, karena alasan psikologis, dasar yang bersifat ekslusif lebih populer dan dikenal secara baik daripada yang inklusif. Inilah alasan mengapa para ahli teologi yang telah mempelajari secara mendalam hingga akar agama, cenderung berpikiran terbuka daripada mereka yang tidak mempelajari secara mendalam. Jadi, setiap agama sudah sewajarnya melakukan usaha keras untuk dapat berbuat adil terhadap dasar inklusif dari ajaran masing-masing agama, demi terciptanya kehidupan yang harmonis.[3]
Kepelbagian nilai keagamaan yang pernah dihayati manusia sepanjang zaman itu senantiasa mamiliki dasar-dasar yang mengandung persamaan-persamaan elemen yaitu perasaan takut, khawatir, cinta dan percaya kepada Yang Maha Ghaib.[4] Dalam makalah ini, penulis bermaksud menghadirkan beberapa ajaran yang sama dalam beberapa agama. Pada dasarnya, semua agama di dunia ini mempunyai tujuan yang sama, hanya saja terdapat perbedaan dalam dataran kaifiyat dan teologinya.[5]

B.  PRINSIP KETUHANAN
“Satu Tuhan, banyak Agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang, sesudah sejarah tercatat manusia berlangsung kurang lebih sejak enam ribu tahun lalu. Manusia sekarang didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme memang sungguh-sungguh merupakan fitrah kehidupan manusia. Kepelbagaian agama merupakan fakta dan hukum Tuhan yang tidak dapat ditolak, dan dalam kepelbagaian itulah manusia harus hidup bersama dan berhubungan satu sama lain. Dalam konteks pluralisme semacam itu, klaim-klaim kebenaran (truth claim) hanya relevan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat internal.[6] Berbicara mengenai konsep ketuhanan, berikut akan penulis hadirkan bahwa sesungguhnya masing-masing agama mempunyai paham yang sama akan ketuhanan, yaitu adanya sebuah kekuatan yang maha dahsyat di alam semesta ini.

1.      Agama Islam
Menurut Islam, semua agama yang dibawa oleh oleh para nabi mengajarkan prinsip-prinsip dasar yang sama. Semua nabi dan rosul menyeru dan mengajak manusia untuk hanya patuh dan menyembah pada Tuhan yang Satu, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Ajaran tentang keesaan Tuhan (tauhid) dan kepatuhan kepada-Nya diyakini sebagai dua buah prinsip utama semua agama yang berasal dari Tuhan. Hukum-hukum agama bisa saja berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi dan keperluan masyarakat penerima agama.[7] “Tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah SWT”. Begitulah kalimat yang menunjukkan bahwa Tuhan itu hanya satu. Tiada sekutu bagi-Nya. Lebih jelas lagi tertera dalam surat al-Ikhlas:

1.  Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2.  Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4.  Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."[8]

2.      Agama Yahudi
Agama Yahudi terkenal sebagai agama monotheisme absolut (tauhid) yang meletakkan dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada tempat yang pertama. Setiap orang Yahudi yang akan mengerjakan suatu pekerjaan, harus lebih dahulu mengucapkan “Shemah”, yaitu ucapan sebagai berikut: “ Dengarkanlah, hai bangsa Israel, Tuhan kita yang kita sembah adalah Maha Esa”. Pernyataan ini termaktub dalam Ten Commandments agama Yahudi ini.
Musa datang dengan membawa agama yang memberantas konsepsi ketuhanan dari bangsa-bangsa Babilonia, Mesir, Asiria, dan Medeterania dan lainnya, yang pada masa itu mempertuhankan benda serta kekuatan alam semesta. Beliau menggantikannya dengan konsepsi Tuhan yang monotheistis. Didalam kitab perjanjian lama berkali-kali ditegaskan bahwa Tuhan itu hanya satu yaitu Yahweh, yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir.[9]

3.      Agama Nasrani
Berbicara falsafah ketuhanan agama nashrani, maka pembahasannya tak lepas dari falsafah TRINITAS, yaitu adanya “Tiga Oknum Ketuhanan”, Tuhan Bapa, Roh Kudus, dan Yesus Kristus. Ketiganya merupakan kesatuan sebagai satu kebenaran yang Esa. Menurut rumusan Nashrani, filsafat ketuhanan yang demikian itu tidak boleh disebut polytheisme, tetapi harus dikatakan monotheisme, sebab oknum kedua dan ketiga adalah bagian dari oknum pertama.[10] Ketiga-tiganya adalah pribadi Allah dan ketiga pribadi tersebut adalah Allah. Semuanya Mahakudus, Maha Sempurna, Maha Kuasa, dan Maha Kekal. Masing-masing memiliki satu pengetahuan Illahi, satu Kehendak Illahi, satu kehidupan Illahi, sehingga disebut dengan Tritunggal Yang Maha Kudus.[11] Dengan istilah lain, Ketiganya adalah dalam ke-Esa-an, atau ke-Esa-annya dalam ketigaannya.

4.      Agama Budha
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal. Namun, budha juga mengakui bahwa ada sesuatu yang kekal. Berikut ini dalilnya:
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta,  Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu[12]
 Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak  Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa  aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi  dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

5.      Agama Hindu
Agama Hindu sering kali dianggap sebagai agama politheis. Namun, apabila diteliti lebih lanjut akan kelihatan bahwa dalam salah satu ajaran Hindu juga mempercayai bahwa ada satu kekuatan yang transenden, Tuhan yang Satu; tidak ada duanya. Ungkapan Monotheisme murni dapat dilihat terutama dalam pengalaman cinta pada Tuhan secara konkret dan mendalam (bhakti). Bhakti Hindu berarti cinta dan penyerahan pada Tuhan, itu berarti Tuhan dibayangkan sebagai Pribadi Maha Tinggi. Beberapa gambaran berikut akan memperlihatkan dengan lebih jelas monotheisme agama bhakti:

Kabir:
   “Tuhan adalah satu; tidak ada duanya. Di surga, di dunia bawah, dalam bumi dan air, Rama yang melihat semuanya.” Sudah mati Brahma, Vishnu, Mahesa; sudah mati Ganesha, putra Parvati, sudah mati Bulan, Matahari, Dewa Ular. Hanuman, yang membangun jembatan, sudah mati. Sudah mati Krishna, sudah mati si Pembuat. Hanya satu yang tidak mati—Sang Pencipta. Kabir berkata, hanya Dia-yang tak terikat oleh kedatangan dan kepergian-yang tidak mati. (Bijak, Sabda 45)
Manikkavacakar:
“Ada yang Transenden! Penguasa dari semua yang tinggi di istana surgawi Yang abadi. Terpujilah! Pemberi rahmat segala untukku,...Terpujilah! Engkau yang tiada bercela, yang membuat diriku, orang yang terbuang ini menjadi milikmu. Anggapan bahwa ada dewa lain dari pada Engkau, yang satu-satunya, tak akan dipeluk oleh jiwaku!”

Dengan banyaknya pecinta Tuhan dalam Hindu, jelaslah motivasi utama monotheisme mereka lebih bersifat religius daripada filosofis dan lebih didasarkan pada pengalaman religius yang khusyuk daripada akal murni, meskipun akal digunakan juga untuk membenarkan pengalaman mereka. Monotheisme Hindu ini memang cukup berbeda dengan monotheisme Yahudi maupun Islam, sebab monotheisme agama ini menekankan pada “kesadaran akan Tuhan” sebagai ciri khas sifatnya.[13]

Menyikapi permasalahan Ketuhanan ini, penulis merasa bahwa pada dasarnya setiap agama memiliki keyakinan bahwa dalam kehidupan ini terdapat konsep dasar Ke-Esa-an Tuhan, terlepas bagaimana corak masing-masing agama dalam mewujudkan Tuhan itu sendiri. Hal ini termasuk dalam kawasan Theologi, sehingga kita sebagai manusia tentu harus mengimani konsep Ke-Esa-an Tuhan sesuai ajaran masing-masing agama yang dipeluk, karena hal ini adalah hak setiap manusia yang tidak bisa dipaksakan. Setidaknya dari urain penulis, terdapat kesamaan konsep Ke-Esa-an Tuhan. 

C.  PRINSIP CINTA KASIH
Prinsip cinta kasih dalam agama-agama terlihat cukup dominan. Hal ini tak lepas akan kesadaran para pemeluk agama akan pentingnya sebuah kehidupan yang akrab dan harmonis di antara manusia. Perlu digaris bawahi bahwa kehidupan yang harmonis tak dapat terwujud tanpa disertai dan dilandasi rasa kasih sayang. Berikut beberapa ajaran tentang kasih sayang di masing-masing agama.

1.      Agama Islam
Dalam hubungan sosial kepada setiap makhluk Allah, termasuk hewan, tumbuhan, dan lingkungan serta manusia pada umumnya, prinsip kasih sayang sangat perlu dan mutlak sifatnya. Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadis nabi yang menunjukkan anjuran untuk perilaku kasih sayang ini.[14] Dalam salah satu hadis nabi disebutkan bahwa: “Barang siapa tidak menyayangi manusia, niscaya Allah tidak menyayanginya (HR. Bukhari). Ungkapan dan ekspresi kasih sayang adakalanya nampak formal dan adakalanya tidak terlihat (abstrak), karena kasih sayang adalah cerminan dan refleksi hati.

Apabila sikap kasih sayang ini sudah melekat dalam jiwa seseorang, maka dia akan berusaha membantu bagaimana membuat orang merasa nyaman dalam menjalankan aktvitasnya setiap hari. Idealitas kasih sayang yang diajarkan rosul adalah bahwa ukuran kasih sayang yang semestinya diberikan oleh makhluk Allah yaitu seperti kasih sayang terhadap dirinya sendiri. Sebesar apa kasih sayang kita pada diri sendiri, sebesar itu pula kasih sayang yang dicurahkan pada orang lain. Sebaliknya jika kasih sayang pada diri sendiri tidak berbanding lurus dengan kasih sayang pada orang lain, Rasulullah menilainya dengan sebutan “tidak beriman”.[15]        

2.      Agama Yahudi
Ajaran cinta kasih dalam agama ini tak lepas dari nama agama ini sendiri. Menurut ibnu Katsir, kata yahuud berasal dari kata al-hawadah yang berarti cinta kasih. Kemudian dalam ajaran yahudi sendiri, cinta kasih menempati posisi yang penting. Bagi mereka, mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri adalah salah satu bentuk kebenaran. Menurut mereka pula, tidak ada orang Yahudi yang dapat disebut cinta Tuhan, kalau tidak ada diantara mereka berpegang teguh pada kebenaran yang salah satu bentuk kebenaran tersebut adalah pengaplikasian cinta. Seseorang belum dapat dikatakan cinta Tuhan sebelum ia mencintai orang lain dan tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.[16]

3.      Agama Nashrani
Agama Nashrani dikenal dengan prinsip kasih sayangnya yang begitu besar. Prinsip kasih sayang dikenal sebagi inti ajarannya, yang merupakan penekanan ajaran terhadap moral susila yang bersumber pada rasa kasih sayang sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh nabi Isa sendiri.[17] Dalam hubungan dengan ajaran tersebut, agama Nashrani mengajarkan bahwa Tuhan adalah sebagai Tokoh ke-Bapakan yang cinta kasih terhadap hambanya. Dengan kata lain, prinsip kemanusiaan menjadi sumber ajaran dimana perasaan cinta kasih menjadi dasar pokoknya. Perikemanusiaan yang memancar dari cinta kasih ini meliputi dan meluas ke dalam sikap hidup antara sesama manusia dan sikap hidup dalam hubungannya antara manusia dengan Allah. Perasaan cinta kasih Yesus menyebabka dirinya rela mati di atas tiang salib sebagai penebus dosa manusia. Berikut ini ajaran Yesus tentang sifat dan sikap luhur yang termaktub dalam kitab injil mengenai prinsip cinta kasih:
            a. Cintailah tetanggamu sebagai kamu mencintai dirimu sendiri.
b.      Saint Paul berkata: Cinta adalah kesabaran dan keramahan, cinta bukan iri hati atau kemarahan, ia bukan suatu kekasaran…ia tidak menyambut gembira akan sesuatu yang salah, ia menyambut gembira sesuatu yang benar. Cinta membuahkan segala sesuatu, mempercayai sesuatu, mengharap-harap segala sesuatu, bertahan terhadap segala sesuatu, cinta tak pernah berakhir (I. Cor. 13: 4-8).[18]    

4.      Agama Budha
Dalam ajaran agama Budha, konsep tentang cinta kasih secara eksplisit terlihat dalam dasadharma. Dan jika diteliti secara mendalam Terbukti dalam Nikaya Pali, yaitu: Dhammapada ada satu bab yang diberi judul: Piya Vagga yang berarti kecintaan. Begitu pula dalam Majjhima Nikaya terdapat sutta yang berjudul Piyajatika Sutta, yang merupakan khotbah tentang orang-orang tercinta.
Dalam Bahasa Pali juga ditemukan beberapa istilah cinta, seperti: piya, pema, rati, kama, tanha (jawa trenso), ruci, dan sneha yang memiliki arti: rasa sayang, kesenangan, cinta kasih sayang, kesukaan, nafsu indera (birahi), kemelekatan, dsb, yang terjalin antara dua insan berbeda jenis atau cinta dalam lingkup keluarga.
            Adanya larangan membunuh membuktikan bahwa manusia harus mempunyai rasa kasih say
ang terhadap sesama. Buddha pernah menyatakan:
Lokopathambhika Metta”, yang artinya adalah sebagai berikut.
Hanya dengan cinta kasihlah yang dapat  menyelamatkan dunia ini.
Dalam menyelesaikan ketegangan, pertengkaran, dan kesulitan-kesulitan rumah tangga, bila seorang ayah hanya menggunakan kekuasaannya sebagai kepala rumah tangga; atau dengan berpendirian bahwa bila saya memiliki materi yang lebih banyak pasti semuanya bisa selesai; atau juga dengan menggunakan kekerasan supaya semuanya diam ketakutan; maka keharmonisan tidak mungkin bisa dicapai. Tetapi, bila sang ayah, ibu, dan anak-anak saling mempunyai rasa cinta yang tulus, ketentraman dan kedamaian pasti bisa tumbuh dalam keluarga, untuk dinikmati bersama. Juga dalam menghadapi problem yang lebih besar. Bila materi, kekuatan atau kekerasan diandalkan sebagai kunci untuk menyelesaikannya, maka problem tidak akan selesai dengan baik.
Tanpa adanya dasar cinta kasih, kecerdasan yang dimiliki seseorang bisa digunakan untuk menghancurkan kehidupan ini. Tanpa adanya dasar cinta kasih kepandaian bisa menjadi kejahatan dan kekejaman yang luar biasa. Tanpa adanya cinta kasih, ilmu pengetahuan bisa menjelma menjadi penghancur nilai-nilai kemanusiaan.[19]

5.      Agama Hindu
Berbicara soal cinta kasih dalam agama hindu, kita dapat melihatnya pada ajaran yoga, tepatnya pada Bhakti Yoga (cara mencapai kelepasan dengan jalan cinta kasih). Ajaran ini secara jelas bahwa dengan berbekal cinta kasih, manusia dapat mencapai kelepasan dari kehidupan duniawi. Cinta kasih menduduki posisi cukup penting dalam proses menuju kelepasan. Ungkapan cinta kasih akan Tuhan merupakan sikap dan perasaan religius yang khas dengan ciri-ciri hakikinya, yakni kepercayaan, kecintaan, dan penyerahan penuh kepada Tuhan. Inilah partisipasi afektif dari jiwa dalam kodrat Illahi; suatu cinta yang begitu pekat kepada Tuhan. Dalam Svetasvatara Upanishad dinyatakan bahwa hanya dia yang mencintai Tuhan secara paling utama yang dapat memahami ajaran rohani yang terdapat di dalamnya. Di dalam Bhagavadgita-lah cinta Tuhan diajarkan secara gamblang sebagai jalan keselamatan.[20]

D.    KONSEP KESELAMATAN
Dapat ditemukan bahwa pada semua agama yang ada selalu mengajarkan prinsip keselamatan bagi para pemeluknya. Semua ajaran yang ada tak lain untuk mencapai keselamatan baik di kehidupan di dunia maupun setelahnya.  Berikut akan penulis paparkan beberapa ajaran yang mengandung konsep keselamatan pada masing-masing agama.

1.      Agama Islam
Dalam Islam secara jelas manusia adalah yang paling luhur dari semua ciptaan. Semua orang lahir sebagai seorang muslim; orang tuanyalah barang kali yang membuatnya lain. Guna memperoleh keselamatan hidup, manusia diharuskan untuk melakukan beberapa perintah dan menjauhi beberapa larangan. Muslim hendaknya melaksanakan imannya dengan menjalankan pujaan (sholat, puasa, zakat, dll) dengan memperhatikan kaum miskin.

Gagasan dosa dalam islam terjadi apabila seorang muslim melanggar larangan yang telah diajarkan oleh agama. Menurut teolog muslim, kegagalan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah digariskan itu mengakibatkan sikap yang keliru kepada Allah yang sangat berbahaya karena mengantar orang kepada sikap tidak beragama dan adzab Illahi. Allah-lah pemegang otoritas tunggal pemberi keselamatan. Allah dipandang sebagai penyelamat orang yang Ia kehendaki. Oleh karena itu, tak ada jalan lain bagi manusia apabia mengiginkan keselamatan, mintalah kepada Allah melalui pelaksanaan ajaran-ajaran-Nya dan juga ikhtiar pribadi untuk memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat.[21]      

2.        Agama Hindu
Key word untuk keselamatan adalah moksha atau mukti. Kata tersebut memuat makna ketenangan, rasa aman, kepenuhan, dan kebahagiaan. Istilah-istilah yang mereka gunakan untuk mengungkapkan tempat dari mana mereka mencapai keselamatan adalah seperti berikut. Karma berarti tindakan baik yang bersifat ritual atau yang lainnya dan menunjuk pada hukum tindakan secara umum.
Jalan rohani untuk menuju keselamatan ditentukan oleh kodrat perbuatan. Agar memperoleh keselamatan, cara yang semestinya dilakukan adalah dengan berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat. Untuk menentang hasrat, caranya dengan mengawasi dan menakhlukkan nafsu seseorang, mengarahkannya pada aktivitas yang tanpa pamrih lewat praktik-praktik askesis dan membersihkan serta mengatasi semua hasrat dengan cinta yang mantap terarah pada Tuhan. Sacara ringkas, cara untuk mencapai keselamatan adalah dengan melaksanakan filsafat Yoga. [22]
   Bagi kaum Teis Hindu, keselamatan berarti perwujudan akhir dari ketergantungan total jati diri individu kepada Tuhan dalam persekutuan cinta, penyerahan diri. Hal ini memberikan jiwa kebahagiaan yang terkhir. Jati diri individual tidaklah kehilangan individualitasnya, melainkan dipersatukan dengan Tuhan setelah dibebaskan dari kelahiran kembali.[23]
3.      Agama Buddha
Keselamatan dalam agama ini berarti terbebas dari jahatnya kedukaan dan tercapainya nivana. Langkah pertama yang dilakukan untuk memeperoleh keselamatan adalah dengan mengakui bahwa ia berlindung di dalam Buddha, Dhamma (ajaran), dan Sangha (aturan). Lebih lanjut, dengan pengamalan delapan jalan kebenaran, seseorang baru akan mendapat sebuah keselamatan. Seseorang harus berusaha agar tidak masuk dalam kelahiran kembali, tapi masuk ke nirvana. Kalaupun tidak, agar seseorang dapat terlahir kembali dalam keadaan baik. Itulah konsep keselamatan dalam Buddhism.[24]
4.        Agama Yahudi
Yahudi senantiasa memberikan kesaksian akan kepercayaan bahwa urusan utama mereka adalah memberi perhatian yang mendalam untuk berharap dan bekerja demi kerajaan yang akan datang; yakni dengan bertindak dan hidup menurut jalan Allah menuju keselamatan. Apapun yang diperintahkan oleh Allah akan segera diikuti dan dilaksanakan sebagai kehendak Allah untuk memajukan kehendak-Nya dan dengan demikian memberikan keselamatan serta kebahagiaan individual. Dalam hal dosa, semua manusia berdosa menurut tingkat-tingkatnya masing-masing. Taubatan yang benar-benar dapat menjadi senjata ampuh untuk mengampuni perbuatan dosa yang telah dilakukan.[25]
5.        Agama Nashrani
Pengakuan dosa (absolusi) adalah sakramen yang perlu diulang-ulang. Gereja mengajarakan bahwa seseorang akan diampuni jika ia mengakui dosannya kepada Tuhan dengan disaksikan oleh salah satu dari utusNya di muka bumi ini, yaitu seorang pastur. Orang tersebut harus benar-benar bertobat dari dosa yang telah dilakukannya dan secara jujur memutuskan untuk tidak  melakukannya di masa yang akan datang.[26]
Keselamatan manusia menurut iman kristiani teretak dalam persatuan mesra dengan Allah sendiri. Oleh karena itu Allah sebagai keselamatan bagi manusia disebut keselamatan tak tercipta (gratia increata). Berpadanan dengan itu juga ada keselamatan tercipta (gratia creata), yaitu nilai-nilai seperti kesehatan, hidup sesudah mati, rasa bahagia, dan lain sebagainya.[27]
E.     PENUTUP
Keanekaragaman agama dalam kehidupan dunia ini tak dapat ditentang oleh siapapun. Perbedaan merupakan skenario kehidupan dari Tuhan yang tak seorangpun dapat menggantinya. Namun, ketika ada perbedaan, pastilah ada sebuah persamaan. Inilah kiranya hal yang tersaa penting dalam kehidupan. Dengan adanya kesadaran akan kepluralitasan agama ini, keharmonisan diharapkan dapat terwujud. Sebuah kehidupan yang aman tentram dalam masyarakat yang plural.
Pada dasarnya semua agama yang ada selalu mengajarkan ha-hal yang mendukung kebahagian bagi manusia, walau ada perbedaan dalam tata cara mendapatkannya. Dengan makalah ini, penulis mencoba menghadirkan beberapa persamaan ajaran yang terdapat dalam agama-agama, dengan harapan kita akan saling menghargai keberadaan agama sebagai suatu sistem kepercayaan bagi manusia. Biarlah perbedaan menjadi urusan masing-masing agama.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam makalah ini. Makalah yang dibuat dalam proses pembelajaran yang masih butuh waktu untuk mencapai kesempurnaan. Muncul dalam benak penulis bahwa memang tiada gading yang tak retak. Dan karena keretakan itulah penulis mengharap bimbingan dan koreksi dari Ibu Dosen Pengampu dan para pembaca demi perbaikan dalam pembuatan makalah berikutnya.


[1] (ed) Djam’annuri, Agama Kita, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 4.
[2] Fritzjof Shuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj. Safrudin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. ix.
[3] Franz Magniz Suseno (dkk), Memahami Hubungan antar Agama, (Yogyakarta: Elsaq PRESS, 2007), hlm. 30.
[4] H.M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Terayon Press,1997), hlm. 8.
[5] Mengutip keterangan Dr. Syafa’atun al-Mirzanah dalam kuliah Sejarah Agama-Agama tafsir hadis khusus.
[6]  (ed) Djam’annuri, Agama Kita, hlm. 8.
[7] (ed) Djam’annuri, Agama Kita, hlm. 119.
[8] Q.S. Al-Ikhlas: 1-4, Microsoft word 2007.
[9]  H.M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, hlm. 123.
[10]  M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, hlm. 143.
[11]  (ed) Djam’annuri, Agama Kita, hlm. 81.
[12] Sutta Pitaka, Udana VIII : 3.
[13] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 126-127.
[14] M. Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), hlm. 76.
[15] M. Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, hlm. 87-91.
[16] Burhanuddin Daya, Agama Yahudi, (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), hlm. 226.
[17] M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, hlm. 134.
[18] M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, hlm.  138-139.
[19] Diakses dalam. www.iloveblue.com jam 14.31, dengan menggunakan sumber KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 3; Sri Paññavaro Thera
[20] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 306.
[21]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 313-314.
[22]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 301.
[23]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 308.
[24]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 309-312.
[25]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 314-315.
[26] Drs. H. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, hlm. 204.
[27] Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tahamul Ada' Hadis

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggu...