Terima kasih anda telah mengunjungi blog kami. Semoga bisa mengabil manfaat dari setiap isi yang kami tampilkan.

4.30.2020

Tahamul Ada' Hadis

Pengertian Tahammul wa al-Ada’ 
        Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.

At-Tahammulal-Hadist
       Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ﺗَﺤَﻤَّﻞَ - ﻳَﺘَﺤَﻤَّﻞُ - ﺗَﺤَﻤُﻼ ) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:
ﺍﻟﺘﺤﻢﻝ : ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺗﻠﻘﻰ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺍﺧﺬﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﻴﻮﺥ
 Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru”.
      Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahammul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu . Dalam masalah tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi, seperti diungkapkan oleh al Karmani 2 pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebalikny


Syarat-syarat Tahammul wal Ada’ al-hadis

Syarat-syarat Tahammulul-Hadits
      Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fiqh memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
1) Ketahanan ingatan informator ( Dlabitur Rawi)
2) Integritas keagamaan ( ‘Adalah ) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas ( Tsiqatur Rawi).
3) Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja ( bil ma’na ).
4) Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.

Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
1) Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
2) Berakal sempurna.
3) Tamyis.

Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya[12]

As-Sima’, (السماع, mendengar)
     yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Cara as-sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayat.[14] Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: سمعت ، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني. Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian  حدثنا ، حدثني. Alasannya adalah kata  menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata  حدثنا ، حدثني disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada سمعنا سمعت , karena kata  bias berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan sami’tu tadi. Seangkan kata أخبرنيحدثني  memberi petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan   أخبرنيحدثني tersebut.[15]
      Kata Kana, Yakulu, Fa’la, Haddatsa, Zakara, Qala Fulan, atau yang serupa dengannya diperselisihkan dalam penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat cara-cara tersebut menunjukkan periwayatan secara as-sima’. Sebagian lagi berpendapat kata-kata tersebut menunjukkan cara as-sima’ bila di dalamnya tidak terdapat penyembunyian cacat (tadlis) oleh periwayat yang menggunakan kata-kata dimaksud, pendapat yang terakhir ini menyamakan cara tersebut dengan penggunaan kata ‘an.[16]

Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh  (القرأة علي الشيخ, membaca di hadapan guru). 
     Sebagian besar ulama hadits menyebutnyaal-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnyaعرض القرأة  (menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak absah. Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah عليه قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا اسمع [17]

Ijazah  (الأجازة, sertifiksi atau rekomendasi)
      Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت لك أن نروي عني (aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku). [18]
      Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kri­teria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. 

Al-Munawalah (المناوله)
     Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
      Lafadz yang digunakan dalam Al-MunawalahAl-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. أنباء نا ، أ نبأني  Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah نا و لني ، ناولنا


Al-Mukatabah (المكتبه)
       Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah.
      Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.[22] Lafadz yang digunakan adalah أجزت لك ما كتبته اليك  [23]
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال حدثنا فلان ، حدثني فلان كتابة ، أخبرني فلان كتابة ، كتب الي فلان  [24]
Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih mem­perbolehkannya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulamamutaqaddimin dan muta’akhkhirin.

I’lam asy-Syeikh (اعلم الشيخ)
      Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meri­wayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. 

  A I- Washiyyah (الوصيه)
      Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan  seorang untuk boleh meriwayatkan darinya.
  Penyampaian riwayat yang diterima dengan cara wasiat menurut yang memperbolehkannya adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu menyampai­kannya. Misalnya perawi mengatakan: Telah mewasiatkan kepadaku Fulan, mengatakan telah memberikan khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat, atau saya menemukan dalam wasiat Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan kepadanya begini-begini. 


Al-Wijadah (الوجده, penemuan)
    Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu,bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggu­nakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahi­fah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. 
      Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Ja­ngan kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if periwayatan dari kitab-kitab.[27] Lafadz yang digunakan وجدت بخط فلان    atau وجدت فى كتابفلان بخطه

Tahamul Ada' Hadis

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggu...