Terima kasih anda telah mengunjungi blog kami. Semoga bisa mengabil manfaat dari setiap isi yang kami tampilkan.

4.28.2012

Fenomena Al-Quran dalam Bulan Ramadhan


A.    Pendahuluan
Pertemuan antara Alquran  dengan masyarakat yang telah mempunyai kebudayaannya sendiri menimbulkan fenomena baru. Hal ini tak lepas dari resepsi masyarakat terhadap Alquran  itu sendiri. Alquran  sebagai wujud kalam Allah terkadang diartikan sebagai sebuah teks yang mempunyai faedah tersendiri dalam keadaan tertentu. Sehingga, terlihat Alquran  disikapi secara simbolik sebagai suatu bacaan yang mempunyai kandungan khusus ketika dibaca pada momen-momen khusus pula. Disisi lain, terdapat pula masyarakat yang memahami Alquran  sebagai suatu kitab suci yang memiliki pahala besar jika dibaca dan diamalkan.
Alquran  yang diturunkan pada bulan Ramadhan membuat posisi bulan benuh berkah ini menjadi berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Ramadhan terlihat memiliki kecenderungan khusus dalam setiap kegiatan masyarakat. Hal-hal yang sering disematkan kepada Ramadhan telah menjadikan masyarakat memiliki resepsi keberagamaan yang berbeda dari bulan-bulan lainnya. Akan terlihat ciri khas tersendiri dalam tubuh masyarakat selama menjalankan tradisi keberagamaan pada bulan ini.
Makalah ini melaporkan hasil pengamatan kami mengenai pergeseran orientasi keberagamaan—dalam hal ini tradisi pembacaa Alquran—pada selain Ramadhan dan selama bulan Ramadhan. Pada awalnya, akan dibahas mengenai tradisi pembacaan Alquran   di luar Ramadhan lalu diikuti dengan deskripsi tradisi yang sama pada bulan Ramadhan. Penelitian ini berasal dari pengamatan panjang antara dua desa yang mewakili corak budaya dan alur berpikir yang berbeda. Desa Dayu, salah satu desa di kabupaten Blitar, merupakan representasi masyarakat Jawa dan lebih memiliki model berfikir simbolis. Sementara desa Lawang dan Parabek di Kabupaten Agam Sumatera Barat mewakili masyarakat yang lebih berfikir pragmatis-rasionalis.
Dalam analisisnya, kami menggunakan kerangka teoretik berupa distingsi masyarakat Jawa kepada priyai, abangan, dan santri. Kelompok priyai ditandai dengan kehidupan kalangan bangsawan yang menguasai birokrasi. Kelompok ini lebih bernuansa sosial daripada religius, oleh karenanya ia tidak akan ditilik dalam pembahasan masalah. Sementara kelompok santri ditandai dengan ketaatan dalam ajaran agama Islam. Kegiatan keberagamaan mereka lebih dilandasi kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Varian terkahir, abangan didominasi dengan berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional, serta kepercayaan-kepercayaan simbolis lainnya.[1]

B.     Pembacaan Alquran  : Antara yang Pragmatis dan Simbolis
Masyarakat Minangkabau memang diajarkan untuk selalu berfikir praktis-rasionalis. Petatah-petitih adat yang menjadi pembentuk karakter banyak yang bercorak demikian.[2] Model berfikir semacam ini juga berpengaruh pada bidang tindak keberagamaan. Hanya saja, suku bangsa yang mayoritas penduduknya menganut agam Islam ini tidak begitu saja mengalami bentuk keberagamaan yang sekarang. Di sana telah berlalu masa yang cukup panjang.
Yang paling penting kiranya adalah peristiwa perang Paderi. Perang ini berawal dari konfrontasi antara kaum muda yang modernis dengan kaum tua yang lebih berorientasi kepada adat, tasawwuf, dan ditolong oleh Belanda. Kaum muda, yang dipelopori oleh tiga tokoh yang terpengaruh pemikiran Wahabi, Afghani, dan Abduh ini memandang bahwa praktek-praktek keberagamaan masyarakat sudah bercampur aduk dengan kemusyrikan dan bid’ah. Tidak dipungkiri bahwa asal mula kepercayaan masyarakat Minangkabau adalah kepercayaan animisme dan dinamisme yang kemudian secara bertahap berakulturasi dengan Hind-Budha.[3] Perang paderi tersebut memuncak dengan kemenangan kaum muda (paderi) di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.[4]
Kemusyrikan dan bid’ah yang ditentang tersebut diantaranya mantra-mantra dan jimat-jimat yang diambil dari ayat-ayat tertentu dalam Alquran  . Pada saat itu, tradisi ini ditransmisikan bahkan melalui surau, dimana tenaga pengajar berperan sebagai penjual jimat. Pemuda-pemuda juga mengenal mantra-mantra kekebalan tubuh yang biasa dijadikan sebagai suplemen untuk seni beladiri tradisional yang pada masa itu banyak diajarkan di surau.[5]
Peristiwa Paderi tampaknya memberi pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembagan keberagamaan masyarakat Minangkabau. Sekarang, tanpa mengabaikan sisa-sisa tradisi singkretis yang penuh mistik dan diklaim bid’ah tersebut, masyarakat minangkabau tumbuh menjadi masyarakat yang berfikir rasionalis dan cenderung pragmatis. Sebagai satu contoh, penelitian UNAND menyatakan bahwa kegagalan perbankan Syariah di Sumatera Barat berawal dari strategi promosi yang salah. Strategi yang dimaksud adalah dengan iklan-iklan berbau fatwa yang cenderung emosional dan mengharamkan bunga. Akhirnya, setelah model promosi diganti dengan yang lebih rasional, yaitu dengan menjelaskan kekuatan perbankan Syariah itu sendiri, bukan dengan memberi stigma kepada perbankan konvensional, pada tahun 2009 lalu, perbankan syariah Sumatera Barat mencatat perkembangan terbesar di seluruh Indonesia.[6]
Menukik ke permasalah pembacaan Alquran   secara umum. Kecenderungan pragmatis ini tampaknya mempengaruhi model-model pembacaan Alquran   masyarakat Minangkabau. Hal ini sebagaimana direpresentasikan oleh model-model pembacaan Alquran   di dua desa, desa Lawang dan Parabek,  Agam, Sumatera Barat. Secara garis besar, pembacaan Alquran   di sana berlandaskan beberapa tujuan: pembelajaran, seni tilawah, orientasi pahala, dan dakwah.
Semenjak dini, anak-anak diajarkan membaca Alquran  . Lazimnya diawali dengan metode Iqra’ di TPA. Menginjak usia 8 atau 9 tahun, mereka mulai mempelajari model pembacaan secara tilawah. Setelah tamat, mereka akan diwisuda, yang menurut adat setempat disebut Khatam Alquran  .[7] Mereka yang berbakat dalam dunia tilawah akan mendapatkan momennya ketika adanya musabaqah-musabaqah tilawatil Quran. Selain itu, setiap selepas Subuh atau Magrib, sebagian masyarakat, terutama sekali ibu-ibu, biasa menetap di Mesjid atau Surau membaca Alquran   dengan orientasi pahala. Biasanya, mereka membaca dari al-Fatihah hingga al-Nas secara bertahap yang dicicil secara kontinyu setiap harinya. Selain itu, para da’i membacakan ayat-ayat Alquran   tidak terlepas dari profesi dan tujuannya, yaitu mendakwahkan ajaran Islam.
Praktek pembacaan Alquran   semacam inilah yang berkembang di masyarakat. Meskipun masih ada pembacaan-pembacaan mantra penyembuhan, pakasiah (pelet), dan sebagainya, hanya saja tradisi-tradisi ini sudah punah dan sangat jarang sekali ditemukan. Hasilnya, di sana tidak ada lagi pembacaan ayat-ayat tertentu pada hari-hari atau momen tertentu yang menyimbolkan hal-hal tertentu. Tradisi yasinan masih ada hingga tingkatan tertentu, namun biasanya hanya dilakukan oleh individu-individu.
Beralih kepada masyarakat desa Dayu. Bagi masyarakat sekitar masjid al-Ittihad desa Dayu, berbagai kegiatan sering dilakukan, baik mengenai kegiatan rutinan seperti yasinan, diba’an, dan sebagainya. Lebih lanjut, dalam peristiwa-peristiwa tertentu masyarakat juga nampak sering melakukan kegiatan yang masih terkait dengan al-qur’an. Sebagai contoh adalah dilakukannya tradisi pida’an.[8] Dalam kegiatan ini, para hadirin membaca rangkaian bacaan tahlilan sebagaimana biasanya. Yang membedakan adalah jumlah bilangan bacaan laa ilaaha illallah, yaitu mencapai jumlah total 70.000 kali. Kegiatan serupa juga dilakukan pada hari ke tujuh, empat puluh, seratus, setahun (pendak pisan), dua tahun (pendak pindo), dan seribu hari (nyewon) pasca seseorang meninggal. Adapun pada hari-hari tersebut, masyarakat melaksanakan tahlilan sebagaimana  biasanya. Dilakukannya hal ini bertujuan untuk memohon kepada Allah agar almarhum dapat diterima amalnya dan diampuni dosa-dosanya. Kegiatan ini dipercaya memiliki barakah tersendiri bagi almarhum, para pembaca, dan juga keluarga  almarhum.[9] Dari kegiatan ini, dapat terihat strata sosial dalam masyarakat. Umumnya, kegiatan pida’an seperti ini hanya dilakukakan oleh masyarakat yang mempunyai tingkat religius lebih besar dibanding masyarakat umum. Adapun untuk masyarakat biasa, pida’an hanya dilakukan pada malam pertama saja. Kuantitas bacaan tahlilpun hanya sebagaimana tahlil pada umumnya.
Fenomena Qur’ani yang lain dapat dijumpai ketika seseorang membangun rumah. Secara umum, si pemilik rumah biasanya mengundang tetangganya saat tires.[10] Mereka diminta untuk melakukan do’a bersama dengan membacakan ayat kursi dan juga surat al-Mu’minun ayat 29. Hal ini dimaksudkan agar proses pembangunan dapat berjalan lancar. Kegiatan ini dilakukan di rumah yang ia tempati sebelumnya. Hal ini juga dilaksanakan pula ketika rumah telah selesai dibuat, dengan harapan rumah yang akan ditempati bisa aman. Terkadang dalam kegiatan ini, pemilik rumah mengundang masyarakat untuk melakukan khataman al-Qur’an.[11]
Selain itu, di pemerintahan desa juga terdapat tradisi “bersih desa”. Kegiatan ini dilaksanakan setahun sekali. Dalam kegiatan ini diselenggarakan  khataman Alquran  yang dihadiri sebagian besar penduduk desa Dayu. Adapun untuk teknisnya, masyarakat diminta membayar iuran seikhlasnya guna kepentingan penyelenggaraan. Seringkali pemerintah desa mengundang hufadz untuk membacakan al-Qur’an, sedangkan masyarakat menyimaknya. Kegiatan ini dimaksudkan guna memohon kepada Allah untuk selalu melindungi desa dari marabahaya dan juga selalu menaungi desa dengan rahmat-Nya.[12]
Dengan melihat berbagai fenomena di atas, nampak sekali resepsi yang begitu besar dalam masyarakat terhadap al-Qur’an. Banyak kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan memakai ayat-ayat Alquran  sebagai medianya. Alquran  yang merupakan kalam Allah telah merasuk dalam setiap perilaku masyarakat dalam bentuk yang beraneka ragam. Fenomena di atas merupakan beberapa contoh masyarakat yang menyikapi Alquran  bahwa Alquran  mempunyai manfaat tersendiri jika dibaca pada setiap kegiatan.

C.    Pembacaan Alquran   di Bulan Ramadhan
Secara garis besar, model-model pembacaan Alquran   di kedua Lawang dan Parabek tidak menampakkan perbedaan antara di luar Ramadhan dan selama Ramadhan. Untuk lebih rincinya, kegiatan pembacaan Alquran   dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pemutaran Audio Murattal
Jika di Jogjakarta pemutaran audio murattal menandakan suasana berkabung, tidak demikian di Lawang ataupun Parabek. Pemutaran audio ini merupakan agenda rutin setiap menjelang magrib atau shalat Jum’at. Akan tetapi, selama Ramadhan kegiatan ini semakin intensif. Beberapa masjid bahkan mulai memutar audio ini mulai pukul 02.00 dini hari, menjelang sahur yang padahal baru pada pukul 04.00 hingga 05.00. Selanjutnya, setiap menjelang azan lima waktu, tak jarang masjid atau surau kembali menyetel audio ini.
Hal menarik lainnya adalah audio murattal juga sering disetel selama kegiatan pengumpulan donasi di jalan-jalan. Di tempat-tempat tertentu, biasanya di jalan raya sekitar mesjid, banyak pemuda memegang kantong, dus, atau wadah lainnya untuk mengumpulkan dana dari para pengendara yang lewat. Selama aktifitas ini berlangsung, audio murattal merupakan hal yang lazim.
Tadarrusan individual
Doktrin untuk memperbanyak ibadah pada bulan Ramadhan adalah doktrin yang paling ampuh bagi masyarakat. Janji-janji yang bertebaran pada bulan penuh berkah ini begitu menggiurkan bagi semua individu, dan sayang untuk ditinggalkan. Salah satu manifestasinya adalah kegiatan tadarrusan. Jika di luar Ramadhan yang biasa melakukan tadarrusan secara kontinyu adalah ibu-ibu atau nenek-nenek, pada bulan Ramadhan aktifitas ini menjadi akitifitas masif yang dilakukan masyarakat secara luas. Mulai dari selepas subuh, dhuha, dan waktu-waktu luang lainnya, banyak diisi dengan tadarrusan ini.
Tadarrusan berjamaah
Tidak hanya secara pribadi-pribadi, tadarrusan juga diselenggarakan secara berjamaah. Di Masjid Jami’ Parabek, setiap selepas subuh, tadarrusan berjamaah kaum ibu-ibu secara langsung dipimpin oleh Syaikh Madrasah, atau yang disebut Kyai dalam budaya Jawa. Di sore hari, selepas Ashar, beberapa pemuda-pemudi membimbing anak-anak di bawah 10 tahun bertadarrus membaca juz ‘amma. Selanjutnya, para pemuda-pemudi tersebut mendapatkan giliran bersama teman-teman mereka lainnya di malam hari selepas tarwih. Tidak jauh berbeda, di Masjid Jami’ Lawang, kegiatan tadarrus ini juga digalakkan oleh para muda-mudi. Hanya saja ia kalah intensif dibandingkan dengan yang pertama.
Menghafal Alquran  
Madrasah Sumatera Thawalib bukanlah pondok tahfiz, sehingga kegiatan ini bukanlah kegiatan inti pesantren, melainkan hanya sebagai ekstrakulikuler. Akan tetapi, selama Ramadhan, kegiatan tahfiz menjadi kegiatan rutin dan wajib. Jam belajar standar di luar Ramadhan yang terdiri dari 9 jam pelajaran, mulai pukul 07.15 hingga 14.15 dipotong menjadi hanya 4 jam pelajaran mulai 07.15 hingga 10.00. Setelah itu, semua santri berkumpul di masjid untuk melakukan shalat dhuha dan dilanjutkan dengan menghafal Alquran   dengan mekanisma kelompok-kelompok yang dipimpin oleh kakak kelas tiap kelompoknya. Di hari akhir sekolah pada bulan Ramadhan, hafalan mereka akan dievaluasi, dan yang terbaik akan mendapatkan reward yang membanggakan.
Anehnya, kegiatan ini berlangsung setiap tahun, namun tidak dalam model estafet. Setiap Ramadhan mereka selalu menghafalkan dari juz pertama sampai batas kemampuan mereka, dan di luar Ramadhan kebanyakan meninggalkan hafalan ini. Hasilnya, hafalan mereka hilang, lalu di Ramadhan berikut mereka kembali menghafal dari awal.
Kepentingan Da’wah
Bagi masyarakat Lawang, bulan Ramadhan adalah bulan paling aktif di masjid. Jika di luar Ramadhan pengunjung mesjid bisa dihitung dengan jari, pada bulan Ramadhan, terutama sekali di minggu pertama, jamaah jadi melimpah dan biasanya masjid tidak cukup luas untuk menampung mereka semua. Akan tetapi, semangat ini tidak lantas membuat mereka tidak ke masjid.
Fenomena ini berlangsung selepas Isya, dimana waktu antara Isya dan tarwih selalu diisi dengan ceramah dari da’i-da’i setempat, setiap malam. Tidak jarang, pada momen-momen tertentu, seperti pada 17 Ramadhan, da’i undangan yang top menjadi pilihan. Mereka akan membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan Ramadhan. Uniknya, 29 atau 30 malam tarwih, selalu diisi dengan tema puasa, Ramadhan, dan hal-hal disekitarnya, sehingga tidak jarang tema-tema pada malam awal diulang oleh da’i lainnya pada hari-hari berikutnya.
Untuk sosok da’i, Ramadhan merupakan bulan panen mereka. Setiap malam mereka bisa saja diundang untuk mengisi di banyak masjid, surau, atau mushalla dengan fee secukupnya, bervariasi sesuai dengan kemampuan masjid, surau, atau mushalla terkait. Tidak jarang mereka mendapatkan 2 atau lebih undangan untuk mengisi di malam yang sama, sehingg tidak jarang juga jadwal pengajian di Masjid tertentu harus kosong lantaran hal ini. Tentu saja, dalam kasus ini, si da’i memilih salah satu sesuai dengan alasan yang paling tepat, bisa jadi fee, kedekatan dengan jama’ah tertentu, dan sebagainya.
Musabaqah Tilawatil Qur’an
Tidak hanya bagi da’i, bulan Ramadhan juga menjadi bulan panen bagi para qari’, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Mengapa? Karena pada bulan ini, setiap masjid, surau, atau mushalla mengadakan MTQ dan kegiatan-kegiatan lainnya seperti hafalan juz ‘amma, nasyid, hingga takbiran. Bulan ini merupakan pesta rakyat yang biasanya acara puncak digelar pada tanggal 17 Ramadhan.
Acara-acara MTQ ini biasanya dilaksanakan mulai dari pukul 22.00, selepas tarwih subuh. Hari-hari paling sibuk adalah di pertengahan Ramadhan. Bisa jadi seorang qari’ pada malam ke-13 berlomba di masjid ini, kemudian keesokan harinya di mesjid tetangga, dan mungkin juga lusa kembali berlomba di masjid lainnya. Fenomena lainnya, panitia penyelenggara juga berlomba menyemarakkan kegiatan, seperti dengan hadiah yang lebih besar, yang pada akhirnya berujung kepada gengsi.
Tidak jauh berbeda, dengan masyarakat Dayu juga memiliki banyak kegiatan yang diadakan ketika Ramadhan tiba, baik diperuntukkan bagi anak-anak TPQ ataupun masyarakat umum. Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan membaca Alquran  yang diselenggarakan selama bulan Ramadhan.
Tadarrus Alquran  
Tadarrus Alquran  merupakan kegiatan khusus yang diadakan pada bulan Ramadhan, yang dilaksanakan setelah sholat tarawih. Teknisnya, masyarakat dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari dua orang yang bergantian dalam membaca maupun menyimak Alquran . Setiap kelompok bisa menghabiskan dua hingga tiga juz dalam semalam, tergantung intensitas kecepatan membaca. Ada yang membaca dengan tidak terlalu lancar, namun ada pula yang membaca dengan lancar hingga memakai lagu tertentu. Akhir-akhir ini, lagu rast lebih sering didengar. Hal ini tak lepas dari corak lagu yang dipakai dalam pemantapan membaca Alquran  yang diselenggarakan oleh lembaga PGPQ.[13]
Jumlah peserta tadarrus ini tidak selalu sama di setiap malamnya. Ketika awal bulan Ramadhan, jumlah masyarakat yang mengikuti tadarrus cenderung lebih banyak, namun ketika bulan Ramadhan telah sampai hari-hari akhir, jumlah pesertanya mengalami penurunan hingga hanya empat orang. Kegiatan ini pada umunya dibagi menjadi dua kubu besar, yaitu golongan kaum adam dan kaum hawa. Momen bulan Ramadhan memang sangat kental dengan unsur kereligiusan. Masyarakat yang tadinya jarang ke masjid, mereka berbondong-bondong meramaikan masjid untuk melakukan shalat tarawih, tak terkecuali juga mengikuti tadarrus al-Qur’an. Adanya hidangan saat tadarrus Alquran  menjadi tren tersendiri. Masyarakat di sekitar masjid dijadwal secara rutin guna membawa makanan ataupun gorengan.
Pembelajaran baca Alquran  
Bagi anak-anak TPQ Darul Ma’arif, pembelajaran dibuat berbeda dari hari biasa. Ramadhan dikuhususkan untuk memperlancar membaca al-Qur’an, sesuai dengan tingkatan masing-masing. Bagi anak-anak yang masih sampai pembelajaran jilid, mereka lebih diajarkan tentang makharijul huruf dan juga bacaan-bacaan surat pendek. Sedangkan yang sudah sampai al-Qur’an, mereka diharuskan untuk membaca dengan lancar, cepat, tepat, dan benar. Setiap sore mereka membaca Alquran  secara bergantian dengan menggunakan pengeras suara di masjid. Lebih lanjut, mereka juga dibimbing untuk menghafal surat yasin dan bacaan tahlil. Selain itu, mereka dianjurkan mengikuti kegiatan tadarrus Alquran  yang dilaksanakan setelah sholat tarawih. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pembelajaran membaca Alquran  dilakukan secara intensif. Secara keseluruhan, metode pembelajaran yang digunakan di TPQ Darul Ma’arif ini adalah metode Qira’ati atau saat ini telah berubah menjadi metode Usmani.
Dari segi bacaan, tentunya sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Mereka telah lulus pembelajaran jilid dan bisa melanjutkan ke pembelajaran baca Alquran  secara langsung. Sehingga makhraj dari bacaan mereka sudah lumayan lancar. Sehingga tidak mengherankan jika decak kagum muncul dari orang-orang dewasa ketika mendengar anak-anak TPQ membaca al-Qur’an. Nampaknya hal inilah yang membuat para orang tua memasukkan anaknya ke TPQ yaitu dengan harapan bacaan al-Qur’annya lancar. Meskipun demikian, ketika anak-anaknya lancar membaca al-Qur’an, hal serupa tidak terjadi pada sebagian wali santri. Sebagian wali santri memang tidak mempunyai spiritualitas yang tinggi.
Pengajian
Pengajian yang diadakan setiap malam senin, tepatnya setelah shalat tarawih menjadi kegiatan yang membedakan dengan bulan-bulan lainnya. Pihak takmir masjid menghadirkan da’i yang berasal dari desa Dayu sendiri ataupun desa tetangga. Isi ceramahnya diambil dari ayat-ayat al-Qur’an. Mula-mula da’i membacakan ayat al-Qur’an, kemudian masyarakat mengikutinya. Setelah itu sang da’i menjelaskan kandungan dari ayat yang dibaca. Terlihat dalam hal ini bahwa masyarakat tidak lagi hanya membaca al-Qur’an, tetapi juga diajari memahami kandungan dari ayat-ayat al-Qur’an. Diharapkan masyarakat dapat mengamalkan ajaran-ajaran yang tertuang dalam al-Qur’an. Adapun materi ceramah berasal dari sang da’i sendiri.
Peringatan Nuzulul Qur’an
Pada tanggal 17 Ramadhan, setiap masjid di desa Dayu selalu diramaikan dengan peringatan Nuzulul Qur’an, tak terkecuali masjid al-Ittihad. Khataman Alquran  selalu diadakan dari pagi hingga menjelang beduk maghrib. Ada yang membaca dengan menggunakan pengeras suara dan ada yang membaca tanpa menggunakan pengeras. Peserta khataman hanya terdiri dari para anak-anak TPQ dan juga para ibu-ibu. Tidak ada bapak-bapak yang turut serta dalam kegiatan ini. Hal ini dikarenakan umumnya pekerjaan mereka adalah petani sekaligus peternak sapi ataupun kambing. Sehingga bapak-bapak harus mencari rumput terlebih dahulu. Mereka hanya mengikuti pengajian yang dilakukan setelah khataman Alquran  selesai. Pengajian ini diselenggarakan dengan mengundang da’i tertentu guna memberikan ceramah sekaligus memimpin doa khatmil qur’an. Acara ini diakhiri dengan buka bersama yang dihadiri oleh seluruh anak-anak TPQ beserta wali santri dan juga masyarakat setempat. 
Beberapa kegiatan di atas adalah fenomena membaca Alquran  yang pelaksanaannya lebih bersifat umum. Adapaun bagi setiap individu, mereka juga membaca Alquran  sendiri. Mereka mempunyai niat bahwa selama bulan Ramadhan, mereka harus bisa mengkhatamkan Alquran  walau hanya sekali saja. Tentunya hal ini dikarenakan kepercayaan mereka bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, segala amal dilipat gandakan. Setiap huruf Alquran  yang dibaca mempunyai pahala sepuluh. Jika bisa menghatamkan al-qur’an, tentunya pahala mereka bisa menumpuk banyak.[14]

D.    Pergeseran Orientasi Keberagamaan
Dengan menggunakan distingsi Clifford Geertz, keberagamaan—dalam hal ini tradisi pembacaan Alquran  —masyarakat desa Dayu lebih cocok untuk digolongkan kepada kelompok masyarakat abangan. Hal ini terlihat dari orientasi ritual-ritual simbolik yang mewarnai tradisi pembacaan Alquran   mereka. Sementara masyarakat Lawang dan Parabek lebih dekat kepada kelompok masyarakat santri. Mereka mengamalkan praktik keagamaan mereka lebih berlandaskan doktrin-doktrin keagamaan murni. Adapun aspek luar seperti ekonomi hanya menempati posisi sampingan.
Akan tetapi, terdapat suatu fenomena menarik yang ditampilkan masyarakat Dayu pada bulan Ramadhan. Terlihat bahwa corak ke-abangan-an mereka bergerak menuju corak santri. Selama Ramadhan pembacaan Alquran yang mereka lakukan juga lebih berorientasi doktrin (baca: pahala). Mereka secara rutin melakukan tadarrus, pengajaran membaca Alquran bagi anak-anak, dan sebagainya, yang kesemuanya lebih berlandaskan kepada kharisma doktiner yang dimiliki oleh bulan Ramadhan. Unsur-unsur mistis dan simbolis sedikit terpinggirkan selama bulan ini. Sementara masyarakat Lawang dan Parabek memperlihatkan konsistensi dalam keberagamaan mereka. Perubahan yang terlihat hanya pada intensifitas semata.
Di samping semua itu, hal lain yang perlu digarisbawahi adalah teori distingsi Clifford Gertz mengenai priyai, abangan, dan santri mulai mengalami penipisan relevansinya terhadap masyarakat Jawa sendiri. Hal ini terlihat bahwasanya pada sebagian kalangan, orientasi ritual hanya diperlihatkan masyarakat pada momen-momen tertentu seperti upacara-upacara tasyakuran dan ritual-ritual lainnya. Sementara untuk keseharian, kalangan yang sebelumnya lebih dekat dengan corak abagan tersebut juga memiliki pengetahuan agama yang baik dan menjalankan ritual keberagamaannya berdasarkan doktrin yang ia ketahui. Artinya, perkembangan masyarakat saat ini tidak lagi cocok untuk dibaca dengan distingsi ala Clifford Gertz ini.

E.     Simpulan
Perbedaan corak berfikir masyarakat, antara yang simbolis dan pragmatis ternyata juga berpengaruh terhadap model pembacaan Alquran mereka. Masing-masing varian memiliki bentuk pembacaan tersendiri. Masyarakat dengan model berfikir simbolis memiliki upacara-upacara yang di dalamnya terdapat aktifitas pembacaan Alquran. Sementara masyarakat yang lebih pragmatis lebih mempelajari Alquran sesuai dengan tujuan tertentu, baik berupa  pengamalan ajaran agama, pembelajaran baca-tulis Alquran, hingga untuk kepentingan da’wah.
Selanjutnya, bulan Ramadhan dengan segala kharisma yang ia miliki sedikit banyak mempengaruhi model pembacaan Alquran kedua varian masyarakat. Golongan yang kedua termotivasi untuk lebih intens dalam aktifitas Qur’ani mereka, sementara varian pertama memperlihatkan fakta yang lebih menarik. Bulan Ramadhan mengubah motivasi baca mereka terhadap Alquran. Motif-motif doktri justru lebih dominan dalam hal ini, padahal sebelumnya mereka memiliki corak simbolis. Jika menggunakan terminologi Geertz, corak ke-abangan-an mereka luntur dan berkonversi menuju santri selama bulan Ramadhan.
Selain itu, teori Geertz itu sendiri sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan pada masa sekarang. Perkembagan masyarakat telah merubah banyak hal berdasarkan distingsi tersebut. Abangan tidak lagi abagan secara rigid. Dalam momen-momen tertentu nuansa ke-abangan-an mereka tampak, namun secara keseharian mereka juga lebih dekat dengan corak santri.


[1] Agus Santosa, Geertz: Abangan, Priyai, Santri dalam http://agsasman3yk.wordpress.com/2010/01/30/geertz-abangan-priayi-dan-santri/
[2] Sebagai contoh Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun, yang menjadi landasan budaya merantau pemuda Minangkabau lantaran belum bisa berdedikasi aktif di kampung halaman.
[3] Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)
[4] Terdapat tradisi menyandangkan nama wilayah kepada seorang tokoh masyarakat di Minangkabau pada abad XVIII-XIX. Lazimnya, tokoh tersebut menjadi pengajar di sebuah Surau di wilayah tertentu, lalu nama wilayah tersebut dipasangkan kepada tokohnya, sehingga muncullah nama-nama seperti Tuanku Ulakkan, Tuanku Canduang, Inyiak Parabek, dan sebagainya. Untuk kata Tuanku, Inyiak, dan Syiah memiliki makna yang sama. Dan “Bonjol” adalah nama sebuah wilayah di utara Sumatera Barat yang dilalui oleh garis Khatulistiwa yang kemudian disematkan kepada Tuanku Imam Bonjol. (Amir Syarifuddin, Pokok-pokok Pikiran Islam dan Intelektual Minangkabau dalam Zacky.za.funpic.de
[5] Hal yang menarik dari tradisi ini adalah proses pembelajaran tidak boleh dilakukan di siang hari, harus di malam hari. Terdapat keyakinan bahwa silat (silek) tradisional ini berasal dari harimau, dan ia selalu memperhatikan setiap kali ada yang mempelajarinya. Lebih dari itu, putuih kaji (penerimaan ijazah atau semacam wisuda) baru bisa didapatkan setelah adu tanding langsung dengan harimau tersebut yang biasa juga disebut inyiak.
[6] Romeo Rissal, dalam seminar Mengusung Madrasah Sumater Thawalib sebagai Motor Ekonomi Syariah Sumater Barat, tanggal 19 September 2010.
[7] Khatam Alquran di sini tidak sama dengan tradisi khataman ala masyarakat Jawa yaitu aktifitas mengkhatamkan Alquran dari al-Fatihah hingga al-Nas dalam satu forum dengan teknis tertentu. Akan tetapi, Khatam Alquran di kebanyakan wilayah di Sumatera Barat bermakna pesta atau resepsi yang dilakukan selepas kelulusan seorang anak dari TPA.
[8] Pida’an adalah kegiatan yang dilakukan masyarakat setelah seseorang meninggal. Kegiatan ini dilakukan pada malam hari atas permintaan keluarga almarhum. Pida’an ini biasa dilaksanakan pada malam pertama, kedua, dan ketiga. Namun ada pula yang hanya melakukannya pada malam pertama saja.
[9] Diperoleh dari hasil wawancara via hp dengan tokoh masyarakat setempat, yaitu bapak Ridwan Yusuf pada tanggal 14 Januari 2011 jam 19. 45 WIB. Pemaparan serupa juga dikatakan oleh bapak Mudofir selaku pengurus takmir masjid al-Ittihad.
[10] Tires adalah pembangunan pondasi rumah.
[11] Wawancara dengan ibu wiwik pada tanggal 15 Januari 2011 jam 20.45 WIB.  Berikut ini adalah terjemahan dari surat al-mu’minun ayat 29.  “Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah Aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat."
[12] Bersumber dari wawancara via hp dengan bapak Suhadi, salah satu pamong desa Dayu (BPD) pada tanggal 15 Januari 2011 jam 06.35 WIB.  
[13] PGPQ adalah pendidikan guru pengajar al-Qur’an. Setiap orang bisa mengikuti pembelajaran ini dengan mendaftar terlebih dahulu kepada panitia penyelenggara. Lembaga ini merupakan bagian dari metode Qira’ati dalam membaca al-Qur’an. Masjid al-Ittihad dalam hal ini menjadi pusat penyelenggaraan yang biasanya diadakan pada hari sabtu dan minggu. Adapun hasil akhir pembelajaran, mereka harus mengikuti tashih kepada ketua cabang metode Qira’ati (kyai) guna mendapatkan sertifikat kelancaran membaca al-Qur’an.
[14] Begitulah yang dikatakan Rijal Wafa, salah satu remaja masjid al-Ittihad saat penulis wawancarai via hp.

2 komentar:

  1. Jika memang AlQuran tidak dimengerti tujuan AlQuran diturunkan Allah sebagai petunjuk jalan yang benar, orang membaca AlQuran hanya dibaca berdasarkan klasifikasi, hingga terpokus pada bacaannya saja yang diagungkan, bukan isi kandungan AlQuran yang wajib diperaktekkan dalam kehidupan sehari-hari, hingga apa yang dibaca pelaksanaannyamasih banyak sekali yang melanggar dariyang mereka baca, ini melupakan tanggung jawab dirinya kepada Allah, ibadahnya banyak sekali mengikuti jalan syetan, karena terpokus pada bacaannya, bukan pada isi kandungannya, maka tak akan banyak membawa perubahan pada diri manusia itu sendiri, banyak membaca AlQuran akan tetapi perbuatannya banyak yang melawan Allah, atau bertentangan dengan apa yang mereka baca, jelas bukan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang jelas, semua percaya bahwa alquran adalah wahyu Allah untuk semua manusia. Masalah diamalkan atau tidak kandungannya, kembali pada pribadi dan tingkat keimanan masing-masing.

      Hapus

Tahamul Ada' Hadis

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggu...