A.
Pendahuluan
Pertemuan antara Alquran dengan
masyarakat yang telah mempunyai kebudayaannya sendiri menimbulkan fenomena
baru. Hal ini tak lepas dari resepsi masyarakat terhadap Alquran itu sendiri. Alquran sebagai wujud kalam Allah terkadang
diartikan sebagai sebuah teks yang mempunyai faedah tersendiri dalam keadaan
tertentu. Sehingga, terlihat Alquran disikapi
secara simbolik sebagai suatu bacaan yang mempunyai kandungan khusus ketika
dibaca pada momen-momen khusus pula. Disisi lain, terdapat pula masyarakat yang
memahami Alquran sebagai suatu
kitab suci yang memiliki pahala besar jika dibaca dan diamalkan.
Alquran yang
diturunkan pada bulan Ramadhan membuat posisi bulan benuh berkah ini menjadi
berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Ramadhan terlihat memiliki kecenderungan
khusus dalam setiap kegiatan masyarakat. Hal-hal yang sering disematkan kepada Ramadhan
telah menjadikan masyarakat memiliki resepsi keberagamaan yang berbeda dari
bulan-bulan lainnya. Akan terlihat ciri khas tersendiri dalam tubuh masyarakat
selama menjalankan tradisi keberagamaan pada bulan ini.
Makalah ini melaporkan hasil pengamatan kami mengenai pergeseran
orientasi keberagamaan—dalam hal ini tradisi pembacaa Alquran—pada selain Ramadhan
dan selama bulan Ramadhan. Pada awalnya, akan dibahas mengenai tradisi
pembacaan Alquran di luar Ramadhan lalu diikuti dengan deskripsi
tradisi yang sama pada bulan Ramadhan. Penelitian ini berasal dari pengamatan
panjang antara dua desa yang mewakili corak budaya dan alur berpikir yang
berbeda. Desa Dayu, salah satu desa di kabupaten Blitar, merupakan representasi
masyarakat Jawa dan lebih memiliki model berfikir simbolis. Sementara desa
Lawang dan Parabek di Kabupaten Agam Sumatera Barat mewakili masyarakat yang
lebih berfikir pragmatis-rasionalis.
Dalam analisisnya, kami menggunakan kerangka teoretik berupa
distingsi masyarakat Jawa kepada priyai, abangan, dan santri. Kelompok priyai
ditandai dengan kehidupan kalangan bangsawan yang menguasai birokrasi. Kelompok
ini lebih bernuansa sosial daripada religius, oleh karenanya ia tidak akan
ditilik dalam pembahasan masalah. Sementara kelompok santri ditandai dengan
ketaatan dalam ajaran agama Islam. Kegiatan keberagamaan mereka lebih dilandasi
kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Varian terkahir, abangan didominasi dengan
berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional, serta
kepercayaan-kepercayaan simbolis lainnya.[1]
B.
Pembacaan Alquran :
Antara yang Pragmatis dan Simbolis
Masyarakat Minangkabau memang diajarkan untuk selalu berfikir
praktis-rasionalis. Petatah-petitih adat yang menjadi pembentuk karakter banyak
yang bercorak demikian.[2]
Model berfikir semacam ini juga berpengaruh pada bidang tindak keberagamaan.
Hanya saja, suku bangsa yang mayoritas penduduknya menganut agam Islam ini
tidak begitu saja mengalami bentuk keberagamaan yang sekarang. Di sana telah
berlalu masa yang cukup panjang.
Yang paling penting kiranya adalah peristiwa perang Paderi. Perang
ini berawal dari konfrontasi antara kaum muda yang modernis dengan kaum tua
yang lebih berorientasi kepada adat, tasawwuf, dan ditolong oleh Belanda. Kaum
muda, yang dipelopori oleh tiga tokoh yang terpengaruh pemikiran Wahabi,
Afghani, dan Abduh ini memandang bahwa praktek-praktek keberagamaan masyarakat
sudah bercampur aduk dengan kemusyrikan dan bid’ah. Tidak dipungkiri bahwa asal
mula kepercayaan masyarakat Minangkabau adalah kepercayaan animisme dan
dinamisme yang kemudian secara bertahap berakulturasi dengan Hind-Budha.[3]
Perang paderi tersebut memuncak dengan kemenangan kaum muda (paderi) di bawah
pimpinan Tuanku Imam Bonjol.[4]
Kemusyrikan dan bid’ah yang ditentang tersebut diantaranya
mantra-mantra dan jimat-jimat yang diambil dari ayat-ayat tertentu dalam Alquran
. Pada saat itu, tradisi ini
ditransmisikan bahkan melalui surau, dimana tenaga pengajar berperan sebagai
penjual jimat. Pemuda-pemuda juga mengenal mantra-mantra kekebalan tubuh
yang biasa dijadikan sebagai suplemen untuk seni beladiri tradisional yang pada
masa itu banyak diajarkan di surau.[5]
Peristiwa Paderi tampaknya memberi pengaruh yang sangat signifikan
dalam perkembagan keberagamaan masyarakat Minangkabau. Sekarang, tanpa
mengabaikan sisa-sisa tradisi singkretis yang penuh mistik dan diklaim bid’ah
tersebut, masyarakat minangkabau tumbuh menjadi masyarakat yang berfikir
rasionalis dan cenderung pragmatis. Sebagai satu contoh, penelitian UNAND
menyatakan bahwa kegagalan perbankan Syariah di Sumatera Barat berawal dari
strategi promosi yang salah. Strategi yang dimaksud adalah dengan iklan-iklan
berbau fatwa yang cenderung emosional dan mengharamkan bunga. Akhirnya, setelah
model promosi diganti dengan yang lebih rasional, yaitu dengan menjelaskan
kekuatan perbankan Syariah itu sendiri, bukan dengan memberi stigma kepada
perbankan konvensional, pada tahun 2009 lalu, perbankan syariah Sumatera Barat
mencatat perkembangan terbesar di seluruh Indonesia.[6]
Menukik ke permasalah pembacaan Alquran secara umum. Kecenderungan pragmatis ini
tampaknya mempengaruhi model-model pembacaan Alquran masyarakat Minangkabau. Hal ini sebagaimana
direpresentasikan oleh model-model pembacaan Alquran di
dua desa, desa Lawang dan Parabek, Agam,
Sumatera Barat. Secara garis besar, pembacaan Alquran di
sana berlandaskan beberapa tujuan: pembelajaran, seni tilawah, orientasi
pahala, dan dakwah.
Semenjak dini, anak-anak diajarkan membaca Alquran . Lazimnya diawali dengan metode Iqra’ di
TPA. Menginjak usia 8 atau 9 tahun, mereka mulai mempelajari model pembacaan
secara tilawah. Setelah tamat, mereka akan diwisuda, yang menurut adat
setempat disebut Khatam Alquran .[7]
Mereka yang berbakat dalam dunia tilawah akan mendapatkan momennya ketika
adanya musabaqah-musabaqah tilawatil Quran. Selain itu, setiap selepas Subuh
atau Magrib, sebagian masyarakat, terutama sekali ibu-ibu, biasa menetap di
Mesjid atau Surau membaca Alquran dengan orientasi pahala. Biasanya, mereka
membaca dari al-Fatihah hingga al-Nas secara bertahap yang
dicicil secara kontinyu setiap harinya. Selain itu, para da’i membacakan
ayat-ayat Alquran tidak terlepas dari profesi dan tujuannya,
yaitu mendakwahkan ajaran Islam.
Praktek pembacaan Alquran semacam inilah yang berkembang di masyarakat.
Meskipun masih ada pembacaan-pembacaan mantra penyembuhan, pakasiah (pelet),
dan sebagainya, hanya saja tradisi-tradisi ini sudah punah dan sangat jarang
sekali ditemukan. Hasilnya, di sana tidak ada lagi pembacaan ayat-ayat tertentu
pada hari-hari atau momen tertentu yang menyimbolkan hal-hal tertentu. Tradisi yasinan
masih ada hingga tingkatan tertentu, namun biasanya hanya dilakukan oleh
individu-individu.
Beralih kepada masyarakat desa Dayu. Bagi masyarakat sekitar masjid
al-Ittihad desa Dayu, berbagai kegiatan sering dilakukan, baik mengenai kegiatan
rutinan seperti yasinan, diba’an, dan sebagainya. Lebih lanjut, dalam
peristiwa-peristiwa tertentu masyarakat juga nampak sering melakukan kegiatan
yang masih terkait dengan al-qur’an. Sebagai contoh adalah dilakukannya tradisi
pida’an.[8]
Dalam kegiatan ini, para hadirin membaca rangkaian bacaan tahlilan
sebagaimana biasanya. Yang membedakan adalah jumlah bilangan bacaan laa
ilaaha illallah, yaitu mencapai jumlah total 70.000 kali. Kegiatan serupa
juga dilakukan pada hari ke tujuh, empat puluh, seratus, setahun (pendak
pisan), dua tahun (pendak pindo), dan seribu hari (nyewon) pasca seseorang
meninggal. Adapun pada hari-hari tersebut, masyarakat melaksanakan tahlilan
sebagaimana biasanya. Dilakukannya hal
ini bertujuan untuk memohon kepada Allah agar almarhum dapat diterima amalnya
dan diampuni dosa-dosanya. Kegiatan ini dipercaya memiliki barakah tersendiri
bagi almarhum, para pembaca, dan juga keluarga
almarhum.[9]
Dari kegiatan ini, dapat terihat strata sosial dalam masyarakat. Umumnya,
kegiatan pida’an seperti ini hanya dilakukakan oleh masyarakat yang
mempunyai tingkat religius lebih besar dibanding masyarakat umum. Adapun untuk
masyarakat biasa, pida’an hanya dilakukan pada malam pertama saja.
Kuantitas bacaan tahlilpun hanya sebagaimana tahlil pada umumnya.
Fenomena Qur’ani yang lain dapat dijumpai ketika seseorang
membangun rumah. Secara umum, si pemilik rumah biasanya mengundang tetangganya
saat tires.[10]
Mereka diminta untuk melakukan do’a bersama dengan membacakan ayat kursi dan
juga surat al-Mu’minun ayat 29. Hal ini dimaksudkan agar proses pembangunan
dapat berjalan lancar. Kegiatan ini dilakukan di rumah yang ia tempati
sebelumnya. Hal ini juga dilaksanakan pula ketika rumah telah selesai dibuat,
dengan harapan rumah yang akan ditempati bisa aman. Terkadang dalam kegiatan
ini, pemilik rumah mengundang masyarakat untuk melakukan khataman al-Qur’an.[11]
Selain itu, di pemerintahan desa juga terdapat tradisi “bersih
desa”. Kegiatan ini dilaksanakan setahun sekali. Dalam kegiatan ini
diselenggarakan khataman Alquran yang dihadiri sebagian besar penduduk desa
Dayu. Adapun untuk teknisnya, masyarakat diminta membayar iuran seikhlasnya
guna kepentingan penyelenggaraan. Seringkali pemerintah desa mengundang hufadz
untuk membacakan al-Qur’an, sedangkan masyarakat menyimaknya. Kegiatan ini
dimaksudkan guna memohon kepada Allah untuk selalu melindungi desa dari
marabahaya dan juga selalu menaungi desa dengan rahmat-Nya.[12]
Dengan melihat berbagai fenomena di atas, nampak sekali resepsi
yang begitu besar dalam masyarakat terhadap al-Qur’an. Banyak kegiatan-kegiatan
sosial kemasyarakatan memakai ayat-ayat Alquran sebagai medianya. Alquran yang merupakan kalam Allah telah merasuk
dalam setiap perilaku masyarakat dalam bentuk yang beraneka ragam. Fenomena di atas
merupakan beberapa contoh masyarakat yang menyikapi Alquran bahwa Alquran mempunyai manfaat tersendiri jika dibaca
pada setiap kegiatan.
C.
Pembacaan Alquran di Bulan Ramadhan
Secara garis besar, model-model pembacaan Alquran di
kedua Lawang dan Parabek tidak menampakkan perbedaan antara di luar Ramadhan
dan selama Ramadhan. Untuk lebih rincinya, kegiatan pembacaan Alquran dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pemutaran Audio Murattal
Jika di Jogjakarta pemutaran audio murattal menandakan suasana
berkabung, tidak demikian di Lawang ataupun Parabek. Pemutaran audio ini
merupakan agenda rutin setiap menjelang magrib atau shalat Jum’at. Akan tetapi,
selama Ramadhan kegiatan ini semakin intensif. Beberapa masjid bahkan mulai
memutar audio ini mulai pukul 02.00 dini hari, menjelang sahur yang padahal
baru pada pukul 04.00 hingga 05.00. Selanjutnya, setiap menjelang azan lima
waktu, tak jarang masjid atau surau kembali menyetel audio ini.
Hal menarik lainnya adalah audio murattal juga sering disetel
selama kegiatan pengumpulan donasi di jalan-jalan. Di tempat-tempat tertentu,
biasanya di jalan raya sekitar mesjid, banyak pemuda memegang kantong, dus,
atau wadah lainnya untuk mengumpulkan dana dari para pengendara yang lewat.
Selama aktifitas ini berlangsung, audio murattal merupakan hal yang lazim.
Tadarrusan individual
Doktrin untuk memperbanyak ibadah pada bulan Ramadhan adalah
doktrin yang paling ampuh bagi masyarakat. Janji-janji yang bertebaran pada
bulan penuh berkah ini begitu menggiurkan bagi semua individu, dan sayang untuk
ditinggalkan. Salah satu manifestasinya adalah kegiatan tadarrusan. Jika
di luar Ramadhan yang biasa melakukan tadarrusan secara kontinyu adalah ibu-ibu
atau nenek-nenek, pada bulan Ramadhan aktifitas ini menjadi akitifitas masif
yang dilakukan masyarakat secara luas. Mulai dari selepas subuh, dhuha, dan
waktu-waktu luang lainnya, banyak diisi dengan tadarrusan ini.
Tadarrusan berjamaah
Tidak hanya secara pribadi-pribadi, tadarrusan juga
diselenggarakan secara berjamaah. Di Masjid Jami’ Parabek, setiap selepas
subuh, tadarrusan berjamaah kaum ibu-ibu secara langsung dipimpin oleh
Syaikh Madrasah, atau yang disebut Kyai dalam budaya Jawa. Di sore hari,
selepas Ashar, beberapa pemuda-pemudi membimbing anak-anak di bawah 10
tahun bertadarrus membaca juz ‘amma. Selanjutnya, para pemuda-pemudi tersebut
mendapatkan giliran bersama teman-teman mereka lainnya di malam hari selepas
tarwih. Tidak jauh berbeda, di Masjid Jami’ Lawang, kegiatan tadarrus ini juga
digalakkan oleh para muda-mudi. Hanya saja ia kalah intensif dibandingkan
dengan yang pertama.
Menghafal Alquran
Madrasah Sumatera Thawalib bukanlah pondok tahfiz, sehingga
kegiatan ini bukanlah kegiatan inti pesantren, melainkan hanya sebagai
ekstrakulikuler. Akan tetapi, selama Ramadhan, kegiatan tahfiz menjadi kegiatan
rutin dan wajib. Jam belajar standar di luar Ramadhan yang terdiri dari 9 jam pelajaran,
mulai pukul 07.15 hingga 14.15 dipotong menjadi hanya 4 jam pelajaran mulai
07.15 hingga 10.00. Setelah itu, semua santri berkumpul di masjid untuk
melakukan shalat dhuha dan dilanjutkan dengan menghafal Alquran dengan mekanisma kelompok-kelompok yang
dipimpin oleh kakak kelas tiap kelompoknya. Di hari akhir sekolah pada bulan Ramadhan,
hafalan mereka akan dievaluasi, dan yang terbaik akan mendapatkan reward yang
membanggakan.
Anehnya, kegiatan ini berlangsung setiap tahun, namun tidak dalam
model estafet. Setiap Ramadhan mereka selalu menghafalkan dari juz pertama
sampai batas kemampuan mereka, dan di luar Ramadhan kebanyakan meninggalkan
hafalan ini. Hasilnya, hafalan mereka hilang, lalu di Ramadhan berikut mereka
kembali menghafal dari awal.
Kepentingan Da’wah
Bagi masyarakat Lawang, bulan Ramadhan adalah bulan paling aktif di
masjid. Jika di luar Ramadhan pengunjung mesjid bisa dihitung dengan jari, pada
bulan Ramadhan, terutama sekali di minggu pertama, jamaah jadi melimpah dan
biasanya masjid tidak cukup luas untuk menampung mereka semua. Akan tetapi,
semangat ini tidak lantas membuat mereka tidak ke masjid.
Fenomena ini berlangsung selepas Isya, dimana waktu antara Isya dan
tarwih selalu diisi dengan ceramah dari da’i-da’i setempat, setiap malam. Tidak
jarang, pada momen-momen tertentu, seperti pada 17 Ramadhan, da’i undangan yang
top menjadi pilihan. Mereka akan membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan Ramadhan.
Uniknya, 29 atau 30 malam tarwih, selalu diisi dengan tema puasa, Ramadhan, dan
hal-hal disekitarnya, sehingga tidak jarang tema-tema pada malam awal diulang
oleh da’i lainnya pada hari-hari berikutnya.
Untuk sosok da’i, Ramadhan merupakan bulan panen mereka. Setiap
malam mereka bisa saja diundang untuk mengisi di banyak masjid, surau, atau
mushalla dengan fee secukupnya, bervariasi sesuai dengan kemampuan
masjid, surau, atau mushalla terkait. Tidak jarang mereka mendapatkan 2 atau
lebih undangan untuk mengisi di malam yang sama, sehingg tidak jarang juga
jadwal pengajian di Masjid tertentu harus kosong lantaran hal ini. Tentu saja,
dalam kasus ini, si da’i memilih salah satu sesuai dengan alasan yang paling
tepat, bisa jadi fee, kedekatan dengan jama’ah tertentu, dan sebagainya.
Musabaqah Tilawatil Qur’an
Tidak hanya bagi da’i, bulan Ramadhan juga menjadi bulan panen bagi
para qari’, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Mengapa? Karena pada
bulan ini, setiap masjid, surau, atau mushalla mengadakan MTQ dan
kegiatan-kegiatan lainnya seperti hafalan juz ‘amma, nasyid, hingga takbiran.
Bulan ini merupakan pesta rakyat yang biasanya acara puncak digelar pada
tanggal 17 Ramadhan.
Acara-acara MTQ ini biasanya dilaksanakan mulai dari pukul 22.00,
selepas tarwih subuh. Hari-hari paling sibuk adalah di pertengahan Ramadhan.
Bisa jadi seorang qari’ pada malam ke-13 berlomba di masjid ini,
kemudian keesokan harinya di mesjid tetangga, dan mungkin juga lusa kembali
berlomba di masjid lainnya. Fenomena lainnya, panitia penyelenggara juga
berlomba menyemarakkan kegiatan, seperti dengan hadiah yang lebih besar, yang
pada akhirnya berujung kepada gengsi.
Tidak jauh berbeda, dengan masyarakat Dayu juga memiliki banyak
kegiatan yang diadakan ketika Ramadhan tiba, baik diperuntukkan bagi anak-anak
TPQ ataupun masyarakat umum. Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan membaca Alquran
yang diselenggarakan selama bulan
Ramadhan.
Tadarrus Alquran
Tadarrus Alquran merupakan
kegiatan khusus yang diadakan pada bulan Ramadhan, yang dilaksanakan setelah
sholat tarawih. Teknisnya, masyarakat dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap
kelompok terdiri dari dua orang yang bergantian dalam membaca maupun menyimak Alquran
. Setiap kelompok bisa menghabiskan dua hingga tiga juz dalam semalam,
tergantung intensitas kecepatan membaca. Ada yang membaca dengan tidak terlalu
lancar, namun ada pula yang membaca dengan lancar hingga memakai lagu tertentu.
Akhir-akhir ini, lagu rast lebih sering didengar. Hal ini tak lepas dari
corak lagu yang dipakai dalam pemantapan membaca Alquran yang diselenggarakan oleh lembaga PGPQ.[13]
Jumlah peserta tadarrus
ini tidak selalu sama di setiap malamnya. Ketika awal bulan Ramadhan, jumlah
masyarakat yang mengikuti tadarrus cenderung lebih banyak, namun ketika
bulan Ramadhan telah sampai hari-hari akhir, jumlah pesertanya mengalami
penurunan hingga hanya empat orang. Kegiatan ini pada umunya dibagi menjadi dua
kubu besar, yaitu golongan kaum adam dan kaum hawa. Momen bulan Ramadhan memang
sangat kental dengan unsur kereligiusan. Masyarakat yang tadinya jarang ke
masjid, mereka berbondong-bondong meramaikan masjid untuk melakukan shalat
tarawih, tak terkecuali juga mengikuti tadarrus al-Qur’an. Adanya
hidangan saat tadarrus Alquran menjadi tren tersendiri. Masyarakat di
sekitar masjid dijadwal secara rutin guna membawa makanan ataupun gorengan.
Pembelajaran baca Alquran
Bagi anak-anak
TPQ Darul Ma’arif, pembelajaran dibuat berbeda dari hari biasa. Ramadhan
dikuhususkan untuk memperlancar membaca al-Qur’an, sesuai dengan tingkatan
masing-masing. Bagi anak-anak yang masih sampai pembelajaran jilid, mereka
lebih diajarkan tentang makharijul huruf dan juga bacaan-bacaan surat pendek.
Sedangkan yang sudah sampai al-Qur’an, mereka diharuskan untuk membaca dengan
lancar, cepat, tepat, dan benar. Setiap sore mereka membaca Alquran secara bergantian dengan menggunakan
pengeras suara di masjid. Lebih lanjut, mereka juga dibimbing untuk menghafal
surat yasin dan bacaan tahlil. Selain itu, mereka dianjurkan mengikuti kegiatan
tadarrus Alquran yang
dilaksanakan setelah sholat tarawih. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
pembelajaran membaca Alquran dilakukan
secara intensif. Secara keseluruhan, metode pembelajaran yang digunakan di TPQ
Darul Ma’arif ini adalah metode Qira’ati atau saat ini telah berubah menjadi
metode Usmani.
Dari segi
bacaan, tentunya sangat berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Mereka telah
lulus pembelajaran jilid dan bisa melanjutkan ke pembelajaran baca Alquran secara langsung. Sehingga makhraj dari
bacaan mereka sudah lumayan lancar. Sehingga tidak mengherankan jika decak
kagum muncul dari orang-orang dewasa ketika mendengar anak-anak TPQ membaca
al-Qur’an. Nampaknya hal inilah yang membuat para orang tua memasukkan anaknya
ke TPQ yaitu dengan harapan bacaan al-Qur’annya lancar. Meskipun demikian,
ketika anak-anaknya lancar membaca al-Qur’an, hal serupa tidak terjadi pada sebagian
wali santri. Sebagian wali santri memang tidak mempunyai spiritualitas yang
tinggi.
Pengajian
Pengajian yang
diadakan setiap malam senin, tepatnya setelah shalat tarawih menjadi kegiatan
yang membedakan dengan bulan-bulan lainnya. Pihak takmir masjid menghadirkan
da’i yang berasal dari desa Dayu sendiri ataupun desa tetangga. Isi ceramahnya
diambil dari ayat-ayat al-Qur’an. Mula-mula da’i membacakan ayat al-Qur’an,
kemudian masyarakat mengikutinya. Setelah itu sang da’i menjelaskan kandungan
dari ayat yang dibaca. Terlihat dalam hal ini bahwa masyarakat tidak lagi hanya
membaca al-Qur’an, tetapi juga diajari memahami kandungan dari ayat-ayat
al-Qur’an. Diharapkan masyarakat dapat mengamalkan ajaran-ajaran yang tertuang
dalam al-Qur’an. Adapun materi ceramah berasal dari sang da’i sendiri.
Peringatan Nuzulul Qur’an
Pada tanggal 17
Ramadhan, setiap masjid di desa Dayu selalu diramaikan dengan peringatan
Nuzulul Qur’an, tak terkecuali masjid al-Ittihad. Khataman Alquran selalu diadakan dari pagi hingga menjelang
beduk maghrib. Ada yang membaca dengan menggunakan pengeras suara dan ada yang
membaca tanpa menggunakan pengeras. Peserta khataman hanya terdiri dari para
anak-anak TPQ dan juga para ibu-ibu. Tidak ada bapak-bapak yang turut serta
dalam kegiatan ini. Hal ini dikarenakan umumnya pekerjaan mereka adalah petani
sekaligus peternak sapi ataupun kambing. Sehingga bapak-bapak harus mencari
rumput terlebih dahulu. Mereka hanya mengikuti pengajian yang dilakukan setelah
khataman Alquran selesai.
Pengajian ini diselenggarakan dengan mengundang da’i tertentu guna memberikan
ceramah sekaligus memimpin doa khatmil qur’an. Acara ini diakhiri dengan buka
bersama yang dihadiri oleh seluruh anak-anak TPQ beserta wali santri dan juga
masyarakat setempat.
Beberapa kegiatan di atas adalah fenomena membaca Alquran yang pelaksanaannya lebih bersifat umum.
Adapaun bagi setiap individu, mereka juga membaca Alquran sendiri. Mereka mempunyai niat bahwa
selama bulan Ramadhan, mereka harus bisa mengkhatamkan Alquran walau hanya sekali saja. Tentunya hal ini
dikarenakan kepercayaan mereka bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh
berkah, segala amal dilipat gandakan. Setiap huruf Alquran yang dibaca mempunyai pahala sepuluh. Jika
bisa menghatamkan al-qur’an, tentunya pahala mereka bisa menumpuk banyak.[14]
D.
Pergeseran Orientasi Keberagamaan
Dengan menggunakan distingsi Clifford Geertz, keberagamaan—dalam
hal ini tradisi pembacaan Alquran —masyarakat
desa Dayu lebih cocok untuk digolongkan kepada kelompok masyarakat abangan. Hal
ini terlihat dari orientasi ritual-ritual simbolik yang mewarnai tradisi
pembacaan Alquran mereka. Sementara masyarakat Lawang dan
Parabek lebih dekat kepada kelompok masyarakat santri. Mereka mengamalkan
praktik keagamaan mereka lebih berlandaskan doktrin-doktrin keagamaan murni.
Adapun aspek luar seperti ekonomi hanya menempati posisi sampingan.
Akan tetapi, terdapat suatu fenomena menarik yang ditampilkan masyarakat
Dayu pada bulan Ramadhan. Terlihat bahwa corak ke-abangan-an mereka
bergerak menuju corak santri. Selama Ramadhan pembacaan Alquran yang mereka
lakukan juga lebih berorientasi doktrin (baca: pahala). Mereka secara rutin
melakukan tadarrus, pengajaran membaca Alquran bagi anak-anak, dan
sebagainya, yang kesemuanya lebih berlandaskan kepada kharisma doktiner yang
dimiliki oleh bulan Ramadhan. Unsur-unsur mistis dan simbolis sedikit
terpinggirkan selama bulan ini. Sementara masyarakat Lawang dan Parabek
memperlihatkan konsistensi dalam keberagamaan mereka. Perubahan yang terlihat
hanya pada intensifitas semata.
Di samping semua itu, hal lain yang perlu digarisbawahi adalah
teori distingsi Clifford Gertz mengenai priyai, abangan, dan santri mulai
mengalami penipisan relevansinya terhadap masyarakat Jawa sendiri. Hal ini
terlihat bahwasanya pada sebagian kalangan, orientasi ritual hanya
diperlihatkan masyarakat pada momen-momen tertentu seperti upacara-upacara
tasyakuran dan ritual-ritual lainnya. Sementara untuk keseharian, kalangan yang
sebelumnya lebih dekat dengan corak abagan tersebut juga memiliki pengetahuan
agama yang baik dan menjalankan ritual keberagamaannya berdasarkan doktrin yang
ia ketahui. Artinya, perkembangan masyarakat saat ini tidak lagi cocok untuk
dibaca dengan distingsi ala Clifford Gertz ini.
E.
Simpulan
Perbedaan corak berfikir masyarakat, antara yang simbolis dan
pragmatis ternyata juga berpengaruh terhadap model pembacaan Alquran mereka.
Masing-masing varian memiliki bentuk pembacaan tersendiri. Masyarakat dengan
model berfikir simbolis memiliki upacara-upacara yang di dalamnya terdapat
aktifitas pembacaan Alquran. Sementara masyarakat yang lebih pragmatis lebih
mempelajari Alquran sesuai dengan tujuan tertentu, baik berupa pengamalan ajaran agama, pembelajaran
baca-tulis Alquran, hingga untuk kepentingan da’wah.
Selanjutnya, bulan Ramadhan dengan segala kharisma yang ia miliki
sedikit banyak mempengaruhi model pembacaan Alquran kedua varian masyarakat.
Golongan yang kedua termotivasi untuk lebih intens dalam aktifitas Qur’ani
mereka, sementara varian pertama memperlihatkan fakta yang lebih menarik. Bulan
Ramadhan mengubah motivasi baca mereka terhadap Alquran. Motif-motif doktri
justru lebih dominan dalam hal ini, padahal sebelumnya mereka memiliki corak
simbolis. Jika menggunakan terminologi Geertz, corak ke-abangan-an mereka
luntur dan berkonversi menuju santri selama bulan Ramadhan.
Selain itu, teori Geertz itu sendiri sudah tidak relevan lagi untuk
diterapkan pada masa sekarang. Perkembagan masyarakat telah merubah banyak hal
berdasarkan distingsi tersebut. Abangan tidak lagi abagan secara rigid. Dalam
momen-momen tertentu nuansa ke-abangan-an mereka tampak, namun secara
keseharian mereka juga lebih dekat dengan corak santri.
[1] Agus Santosa, Geertz:
Abangan, Priyai, Santri dalam http://agsasman3yk.wordpress.com/2010/01/30/geertz-abangan-priayi-dan-santri/
[2] Sebagai contoh
Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di
rumah paguno balun, yang menjadi landasan budaya merantau pemuda
Minangkabau lantaran belum bisa berdedikasi aktif di kampung halaman.
[3] Burhanuddin
Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990)
[4] Terdapat
tradisi menyandangkan nama wilayah kepada seorang tokoh masyarakat di
Minangkabau pada abad XVIII-XIX. Lazimnya, tokoh tersebut menjadi pengajar di
sebuah Surau di wilayah tertentu, lalu nama wilayah tersebut dipasangkan kepada
tokohnya, sehingga muncullah nama-nama seperti Tuanku Ulakkan, Tuanku Canduang,
Inyiak Parabek, dan sebagainya. Untuk kata Tuanku, Inyiak, dan Syiah memiliki
makna yang sama. Dan “Bonjol” adalah nama sebuah wilayah di utara Sumatera
Barat yang dilalui oleh garis Khatulistiwa yang kemudian disematkan kepada
Tuanku Imam Bonjol. (Amir Syarifuddin, Pokok-pokok Pikiran Islam dan
Intelektual Minangkabau dalam Zacky.za.funpic.de
[5] Hal yang
menarik dari tradisi ini adalah proses pembelajaran tidak boleh dilakukan di
siang hari, harus di malam hari. Terdapat keyakinan bahwa silat (silek)
tradisional ini berasal dari harimau, dan ia selalu memperhatikan setiap kali
ada yang mempelajarinya. Lebih dari itu, putuih kaji (penerimaan ijazah
atau semacam wisuda) baru bisa didapatkan setelah adu tanding langsung dengan
harimau tersebut yang biasa juga disebut inyiak.
[6] Romeo Rissal, dalam
seminar Mengusung Madrasah Sumater Thawalib sebagai Motor Ekonomi Syariah
Sumater Barat, tanggal 19 September 2010.
[7] Khatam Alquran
di sini tidak sama dengan tradisi khataman ala masyarakat Jawa yaitu aktifitas
mengkhatamkan Alquran dari al-Fatihah hingga al-Nas dalam satu
forum dengan teknis tertentu. Akan tetapi, Khatam Alquran di kebanyakan wilayah
di Sumatera Barat bermakna pesta atau resepsi yang dilakukan selepas kelulusan
seorang anak dari TPA.
[8] Pida’an
adalah kegiatan yang dilakukan masyarakat setelah seseorang meninggal. Kegiatan
ini dilakukan pada malam hari atas permintaan keluarga almarhum. Pida’an
ini biasa dilaksanakan pada malam pertama, kedua, dan ketiga. Namun ada pula
yang hanya melakukannya pada malam pertama saja.
[9] Diperoleh dari
hasil wawancara via hp dengan tokoh masyarakat setempat, yaitu bapak Ridwan
Yusuf pada tanggal 14 Januari 2011 jam 19. 45 WIB. Pemaparan serupa juga
dikatakan oleh bapak Mudofir selaku pengurus takmir masjid al-Ittihad.
[10] Tires
adalah pembangunan pondasi rumah.
[11] Wawancara dengan ibu wiwik pada tanggal 15 Januari 2011 jam 20.45
WIB. Berikut ini adalah terjemahan dari
surat al-mu’minun ayat 29. “Dan
berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah Aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau
adalah sebaik-baik yang memberi tempat."
[12] Bersumber dari
wawancara via hp dengan bapak Suhadi, salah satu pamong desa Dayu (BPD) pada
tanggal 15 Januari 2011 jam 06.35 WIB.
[13] PGPQ adalah
pendidikan guru pengajar al-Qur’an. Setiap orang bisa mengikuti pembelajaran
ini dengan mendaftar terlebih dahulu kepada panitia penyelenggara. Lembaga ini
merupakan bagian dari metode Qira’ati dalam membaca al-Qur’an. Masjid
al-Ittihad dalam hal ini menjadi pusat penyelenggaraan yang biasanya diadakan
pada hari sabtu dan minggu. Adapun hasil akhir pembelajaran, mereka harus
mengikuti tashih kepada ketua cabang metode Qira’ati (kyai) guna
mendapatkan sertifikat kelancaran membaca al-Qur’an.
[14] Begitulah yang
dikatakan Rijal Wafa, salah satu remaja masjid al-Ittihad saat penulis
wawancarai via hp.
Jika memang AlQuran tidak dimengerti tujuan AlQuran diturunkan Allah sebagai petunjuk jalan yang benar, orang membaca AlQuran hanya dibaca berdasarkan klasifikasi, hingga terpokus pada bacaannya saja yang diagungkan, bukan isi kandungan AlQuran yang wajib diperaktekkan dalam kehidupan sehari-hari, hingga apa yang dibaca pelaksanaannyamasih banyak sekali yang melanggar dariyang mereka baca, ini melupakan tanggung jawab dirinya kepada Allah, ibadahnya banyak sekali mengikuti jalan syetan, karena terpokus pada bacaannya, bukan pada isi kandungannya, maka tak akan banyak membawa perubahan pada diri manusia itu sendiri, banyak membaca AlQuran akan tetapi perbuatannya banyak yang melawan Allah, atau bertentangan dengan apa yang mereka baca, jelas bukan
BalasHapusYang jelas, semua percaya bahwa alquran adalah wahyu Allah untuk semua manusia. Masalah diamalkan atau tidak kandungannya, kembali pada pribadi dan tingkat keimanan masing-masing.
Hapus