Terima kasih anda telah mengunjungi blog kami. Semoga bisa mengabil manfaat dari setiap isi yang kami tampilkan.

3.15.2011

hadis tentang sikap iri

A. Pendahuluan
Merupakan fakta sejarah yang tak lagi diragukan keabsahannya bahwa Nabi Muhammad dikirim kepada umat manusia adalah untuk memperbaiki akhlak, tepatnya guna mencapai budi pekerti yang luhur. Nabi lahir di lingkungan masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi, namun lemah dalam dataran akhlak. Terbukti adanya kesenjangan-kesenjangan sosial diantara satu elemen masyarakat dengan elemen yang lainnya, pun juga pada perilaku tiap individunya. Fenomena itu kemudian dilebur sedikit demi sedikit melalui risalah yang Rasul terima dari Sang Pemberi nafas kehidupan. Rasul datang bagaikan cahaya yang selalu memberikan penerangan kepada siapapun, hingga manusia dapat terbebas dari gelapnya pandangan mata kehidupan.
Nabi meneteskan air kedamaian yang begitu menyejukkan dalam seluruh aktivitas manusia. Ajaran-ajaran beliau mengindikasikan pesan moral yang begitu mendalam bagi siapapun yang membuka mata hatinya. Pribadi beliau yang begitu santun memberikan kesan tersendiri bagi para pengikutnya untuk meniru setiap langkah dan perilakunya. Fatwa yang disampaikan tak hanya terucap lewat bibir, tapi juga melalui perbuatan beliau sendiri. Secara tidak langsung aura positif selalu terpancar hingga menembus jiwa-jiwa yang sadar akan sebuah kedamaian dan keselamatan.
Kesadaran atas anugrah yang begitu besar dari Allah juga beliau sampaikan agar manusia mau bersyukur dari setiap yang ada dalam diri dan kehidupannya. Usaha yang dibarengi dengan niat yang tulus juga beliau sampaikan agar manusia tak salah jalan dalam kehidupannya. Berikut ini merupakan salah satu konsep yang beliau sampaikan kepada para sahabat berupa petunjuk hidup bermasyarakat yang terangkum dalam sebuah hadis dalam Şah}ih} al-Bukhari, kitab al-Ah}kam, bab اجر من قضي بالحكمة, no. 6608.
حَدَّثَنَا شِهَابُ بْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَآخَرُ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
Syihab bin Abbad telah menceritakan kepada kami, Ibrahim bin H{umaid telah menceritakan kepada kami, dari Isma’il, dari Qais, dari Abdillah, Rasulullah saw. bersabda,” tidak ada rasa iri kecuali dalam dua hal: seseorang yang dikaruniai oleh Allah berupa harta kekayaan kemudian dihabiskannya dalam usaha menegakkan kebenaran. Dan seorang yang dikaruniai hikmah pengetahuan kemudian ia melaksanakan dan mengajarkannya kepada orang lain.”
Dalam makalah singkat ini, penulis akan melakukan kajian terhadap kajian terhadap hadis diatas. Kajian ini akan meliputi takhrīj al-h}adis, i’tibār as-sanad, kritik sanad (naqd as-sanad), pemaknaan hadis, kritik matan (naqd al-matn), dan
juga kontekstualisasinya dalam kehidupan. Penulis berharap kajian terhadap hadis ini akan mempunyai kontribusi dalam penelitian hadis dan juga pengaplikasiannya, yaitu akhlak yang mulia.

B. Takhrij al-H{adīś
Bagian ini merupakan langkah awal dalam penelitian hadis, baik itu sanad ataupun matan. Kegiatan awal ini dimaksudkan untuk pencarian dan penelusuran hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumber asli dari objek hadis yang diteliti. Dalam kitab-kitab tersebut akan dikemukakan secara lengkap sanad dan matan hadis yang diteliti. Kegiatan ini dianggap penting karena dapat diketahui secara mudah asal-usul riwayat hadis yang diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadis itu, dan ada tidaknya corroboration (syāhid atau muttabi’) dalam sanad hadis yang diteliti.
Dalam hal ini penulis menemukan beberapa jalur periwayatan dari hadis ini dengan menggunakan kitab-kitab referensi hadis terkait.
1. Şah}īh} al-Bukhārī, Bab al-Igtibāţ fi al-Ilmi wa al-H{ikmah, No. 71
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَلَى غَيْرِ مَا حَدَّثَنَاهُ الزُّهْرِيُّ قَالَ سَمِعْتُ قَيْسَ بْنَ أَبِي حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
2. Şah}īh} al-Bukhārī, Bab al-Infāq al-Māl fi H{aqqihi, No. 1320
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَاعِيلَ قَالَ حَدَّثَنِي قَيْسٌ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
3. Şah}īh} al-Bukhārī, Bab al-I’tişām bi al-Kitāb wa as-Sunnah, No. 6772
حَدَّثَنَا شِهَابُ بْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَآخَرُ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
4. Şah}īh Muslim, Bab Fadlun Man Yaqūmu bi al-Qur’an wa Ya’maluhu, No. 1352
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي وَمُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ قَيْسٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
5. Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Zuhd, No. 4198
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي وَمُحَمَّدُ ابْنُ بِشْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
6. Musnad Imām Ahmad, Bab Musnad Abdullah ibnu Mas’ūd, No. 3469
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي قَيْسٌ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا النَّاسَ
7. Musnad Imām Ahmad, Bab Musnad Abdullah ibnu Mas’ūd, No. 3900
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَيَزِيدُ أَنْبَأَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَآخَرُ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

C. I’tibār al-Sanad
Satu hal yang tidak bisa dilewatkan dalam penelitian hadis, yaitu kegiatan i’tibār al-sanad. I’tibar merupakan usaha penyertaan sanad-sanad lain dalam meneliti suatu hadis guna mengetahui adakah periwayat-periwayat lain yang mendukung suatu hadis atau tidak. Dengan dilakukannya i’tibār, maka akan terlihat secara jelas seluruh jalur sanad yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang dipakai oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.
Dalam kegiatan ini, mencantumkan skema menjadi salah satu cara guna menunjukkan secara jelas ih}wal sanad suatu hadis yang dilihat dari seluruh jalur periwayatan. Skema hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari ini bisa dilihat pada bagian lampiran makalah. Setelah melalui penggambaran jalur periwayatan melalui skema hadis, dapat dilihat apakah terdapat syāhid dan muttabi’ pada hadis tersebut.
Berkaitan dengan hadis pembolehan sikap hasud yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ūd ini tidak mempunyai seorang syāhid. Dengan demikian hadis ini termasuk dalam jajaran hadis ahād, dikarenakan adanya seorang periwayat saja dalam satu ţabaqat. Sementara itu, hadis ini mempunyai beberapa muttabi’ yang dapat ditemukan pada ţabaqat keempat dan seterusnya, yaitu mulai Ibrāhim bin Humaid. Menurut penelitian penulis, hadis ini mempunyai sebelas jalur periwayatan, walau hasil takhrīj keseluruhan menunjukkan tujuh hadis. Hal ini dikarenakan dalam Şahih Muslim mempunyai tiga jalur periwayatan, sedangkan Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad masing-masing mempunyai dua jalur periwayatan.
Lebih lanjut, jika muttabi’ ini dikelompokkan berdasarkan ţabaqat, hadis riwayat Imam al-Bukhāri dari Abdullah bin Mas’ūd ini mempunyai tiga kelompok muttabi’. Pertama, Ibrahim bin Humaid sebagai periwayat keempat. Adapun muttabi’ pada tingkatan ini adalah Yazid, Waki’, Muhammad bin Basyar, Abdullah bin Numair, Yahya, dan Sufyān.
Kedua, Syihab bin ‘Abbad yang merupakan periwayat kelima. Tingkatan ini mempunyai enam muttabi’, yaitu Imam Ahmad dengan tiga jalur periwayatannya, Abu Bakr, Ibnu Numair dengan dua jalur periwayatannya, Muhammad bin al-Muśanna, dan al-Humaidi. Ketiga, Imam al-Bukhari yang merupakan periwayat keenam atau mukharrij hadis. Muttabi’ pada tingkatan ini adalah Imam Muslim dan Ibnu Majah.
Pada ţabaqat pertama sampai ketiga, hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ūd ini tergolong hadis garīb yang merupakan bagian dari hadis ah}ād, sebab hanya terdiri dari seorang perowi saja pada tiap tingkatan. Pada ţabaqat selanjutnya, terdapat banyak periwayat, yaitu lebih dari tiga rowi sehingga pada tingkatan keempat sampai terakhir tergolong hadis mutawātir. Akan tetapi, karena kemutawātirannya tidak terdapat dalam seluruh ţabaqat, maka hadis ini tergolong hadis ah}ad dengan kategori garīb.
D. Kritik Sanad
Sebuah sanad dikatakan sahih apabila memenuhi lima kriteria persyaratan sebagaimana yang disepakati para ulama’, yaitu bersambungnya sanad, keadilan rowi, kedhobitan rowi, terhindar dari sya>z\ dan ‘illah.
Berikut ini merupakan hal-hal yang dilakukan dalam rangka penelitian sanad, dengan tujuan sebuah sanad dapat diterima yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas sebuah hadis itu sendiri.

1. Skema Hadis
Berikut ini adalah skema hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud.

قَالَ

عَنْ

عَنْ

عَنْ

حَدَّثَنَا

حَدَّثَنَا


Hadis ini mempunyai enam orang periwayat. Adapun urutan nama-nama periwayat dan urutan sanad hadis tentang kebolehan sikap hasud yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud di atas adalah sebagai berikut.
No. Nama Periwayat Urutan Periwayat Urutan Sanad
1 Abdullah bin Mas’ud Periwayat I Sanad VI
2 Qais bin Abi Hazim Periwayat II Sanad V
3 Isma’il bin Abi Khalid Periwayat III Sanad IV
4 Ibrahim bin Humaid Periwayat IV Sanad III
5 Syihab bin ‘Abbad Periwayat V Sanad II
6 Imam al-Bukhari Periwayat VI/ Mukharrij Sanad I/ Mukharrij

2. Kualitas Perowi Hadis
Untuk mengetahui derajat sebuah sanad hadis, penelitian kualitas rowi menjadi hal yang urgen. Hal ini dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan apakah sebuah hadis dapat diterima sebagai hujah atau tidak. Hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud di atas diriwayatkan oleh enam perowi. Adapun urutan rowi pada hadis ini adalah: Abdullah bin Mas’ud, Qais bin Hazim, Isma’il bin Abi Khalid, Ibrahim bin Humaid, Syihab bin ‘Abbad, dan Imam al-Bukhari yang juga berkedudukan sebagai mukharrij hadis.
Berikut ini adalah biografi perowi hadis di atas dan juga penilaian kredibilitasnya dari para ulama’.
a. Abdullah bin Mas’ud
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil ibn Hubaib. Kunyah beliau adalah Abu Abdi ar-Rahman dan bernasab al-Huzali. Beliau merupakan salah satu sahabat Nabi yang masuk islam pada awal-awal penyebaran islam. Ia masuk islam bersamaan dengan Sa’id bin Zaid, sehingga Ibnu Mas’ud lebih dulu masuk islam daripada Umar bin al-Khattab. Beliau bertempat tinggal di Kuffah dan wafat di Madinah pada tahun 32 H.
Beliau berguru langsung kepada Rasulullah dan juga pada Safwan bin Assal, Umar bin al-Khattab. Adapun muridnya antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa, Imran bin Husain, Ibnu Zubair, Jabir, Anas, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Abu Rafi’, Alqamah, Abu Wā’il, Aswad, Masruq Abidah, Qais bin Abi Hazim, al-Hajjaj bin Malik, Haris, Zaid bin Zaidah, Zaid bin Wahab, dll.
Karena Abdullah bin Mas’ud masuk dalam generasi sahabat, maka kredibilitasnya sebagai seorang rowi tidaklah diragukan lagi. Sesuai konsep yang berkembang di kalangan sunni bahwa semua sahabat itu adil, maka rowi inipun memiliki penilaian ‘adīl dan śiqah.
b. Qais bin Abi Hazim
Memiliki nama lengkap Qais bin Abi Hazim Auf bin Abdul Haris al-Bajali al-Ahmasyi. Beliau lahir di Kuffah dan memiliki kunyah Abu Abdillah. Beliau merupakan golongan tabi’in besar. Beliau belajar kepada para sahabat-sahabat, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ammar, Ibnu Mas’ud, Khalid, Zubair, Hudhaifah, Thalhah, Said bin Zaid, Aisyah, Abu Musa, Amr’, Mu’awiyah, Mughirah, Bilal, Jarir, Uqbah bin Amir, dll. Adapun murid-murid beliau antara lain Abu Ishaq, Isma’il bin Abi Khalid, Sulaiman al-A’masyi, Mujalid bin Sa’id, Umar bin Abi Zaidah, Hakam bin Utaibah, Abu Jariz, Musayyab bin Rafi’, Hubaib bi Hajar, Ibrahim bin Jarir bin Abdullah, dll.
Ada perbedaan diantara ulama mengenai tahun wafat beliau. Ahmad bin Zuhair menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 97 atau 98 H. Sedangkan Abu Ubaid menyatakan bahwa Qais wafat pada tahun 98 H. Adapun penilaian yang diberikan para kritikus terhadap beliau adalah sebagai berikut:
• Muawiyah bin Shalih : Qais itu lebih s\iqah daripada al-Zuhri.
• Ahmad bin Abi Khaisamah : S|iqah
• Abu Sa’id : S|iqah
• Abu Bakar : saya mendengar dari Ibnu Ma’in bahwa Qais itu orang yang s\iqah
• Ali bin al-Madini : Yahya bin Sa’id mengatakan pada saya bahwa Qais itu mungkar terhadap hadis.
Dengan melihat beberapa penilaian yang diberikan oleh para ulama’ di atas, penulis berasumsi bahwa Qais bin Abi Hazim itu s\iqah. Hal ini tak lepas dari kuantitas dari yang memberi penilaian positif terhadap beliau. Lebih lanjut, ulama’ yang memberikan penilaian negatif terhadap beliau tidak memberikan argumentasi yang memadai. Sehingga hadis yang bearasal dari Qais bisa diterima menurut hemat penulis.
c. Isma’il bin Abi Khalid
Nama beliau adalah Isma’il bin Abi Halid Abu Abdillah al-Bajali al-Ahmasyi. Nasab beliau adalah al-Bajali al-Ahmasyi, sedang kunyahnya adalah Abu Abdillah. Beliau adalah ahli hadis di Kuffah pada zamannya. Beliau berguru pada ayahnya sendiri, Abdullah bin Abi Aufi, Abu Juhaifah, Abi Kahil, Qais bin Abi Hazim. Zaid bin Wahab, Haris bin Syubail, Hakim bin Jabir, Thariq bin Syihab, asy-Sya’bi, Muhammad bin Sa’ad bin Abi Waqash, Zubair bin Adi, Salamah bin Kuhail, dll.
Selain itu, beliau memiliki banyak murid yang diantaranya Hakam bin Utaibah, Malik bin Mighwal, Syu’bah, Syufyan, Syarik, Jarir, Abdullah bin Numair, Isa bin Yunus, Abu Muawiyah, Waki’, Yahya al-Qattan, Yazid bin Harun, Ibnu Idris, Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Khalid, Ibrahim bin Humaid, dll.
Ibnu Nu’aim mengatakan bahwa beliau wafat pada tahun 146 H. Adapun penilaian yang diberikan pada Isma’il bin Abi Halid adalah sebagai berikut:
o Yahya bin Ma’in : S|iqah
o Ya’qub bin Syaibah : S|iqah s\ubut
o Ahmad bin Abdullah : S|iqah
o Muhammad bin Abdillah : حجة
Melihat beberapa penilaian yang diberikan para kritikus, nampaknya tak ada satupun yang memberikan penilaian negatif terhadap beliau. Hal ini mengindikasikan bahwa beliau memang s\iqah dan dapat diterima periwayatannya.
d. Ibrahim bin Humaid
Nama lengkap beliau adalah Ibrahim bin Humaid bin Abdi Rahman ar-Ru’asi. Nasab beliau adalah ar-Ru’asi dan memiliki kunyah Abu Ishaq. Beliau berdomisili di Kuffah. Ibrahim meriwayakan hadis dari para gurunya yang antara lain Isma’il bin Abi Khalid, Sauri bin Yazid, Said bin Kasir, Sulaiman al-A’masyi, Abdullah bin Muslim, Qudamah bin Abdir Rahman, Hisyam bin Urwah, Hasyim bin Hasyim bin Utbah, dll.
Adapun murid-murid yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ahmad bin Abdir Rahman, Ishaq bin Mansur, Hasan binRabi’, Zakariya bin Adi, Syihab bin Abbad, Abu Hammam, Ubaid bin Jinad, Yahya bin Adam, dll.
Ibnu Numair menerangkan bahwa Ibrahim bin Humaid wafat pada tahun 178 H. Mengenai kredibilitas beliau dalam periwayatan hadis, beliau termasuk rowi yang s\iqah dengan didasarkan pada komentar yang dilontarkan oleh para kritikus. Berikut ini penilaian yang diberikan oleh mereka:
 Abu Hatim : s\iqah
 An-Nasa’i : s\iqah
 Abbas ad-Duwari dari Yahya bin Ma’in: s\iqah
Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan dari beliau dapat diterima dan dijadikan hujjah.
e. Syihab bin ‘Abbad
Nama beliau adalah Syihab bin ‘Abbad al-Abdi. Kunyah beliau adalah Abu Umar dan berdomisili di Kuffah. Beliau mempunyai banyak guru yang telah membimbingnya. Diantara guru-guru Syihab bin Abbad antara lain Ibrahim bin Humaid, Buhaim Abi Bakar al-Ijli, Ja’far bin Sulaiman, Hasan bin Abi Yazid, Hafsh bin Ghiyas, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Khalid bin Amr, Dawud bin Abdir Rahman, Su’air bin al-Khams, Sufyan binUyainah, Suwaid bin Amr, Syarik bin Abdillah, Abdullah bin al-Mubarak, Abdur Rahman bin Abdil Malik, Abdur Rahim bin Sulaiman, Isa bin Yunus, Fudhail, Muhammad bin Bisyri, Muhammad bin al-Hasan, Muhammad bin Abdullah, Muhammad bin Qais, dll.
Jumlah muridnya juga dalam kapasitas yang besar. Diantara murid-murid beliau adalah Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Ibrahim bin Syarik, Ibrahim bin Fahd bin Hakim, Abu Amr Ahmad bin Hazim, Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaidah Ahmad, Isma’il bin Abdullah, Ja’far bin Muhammad, Hamid bin Sahl, Hasan bin Muhammad, Hafsh bin Umar, dll.
Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami mengatakan bahwa Syihab bin ‘Abbad wafat pada tahun 224 H. Selain itu Ibnu Majah dan Imam at-Turmudzi juga meriwayatkan hadis dari beliau. Adapun penilaian terhadap pribadi Syihab bin ‘Abbad adalah sebagai berikut.
 Ahmad bin Abdullah al-Ijli : orang Kuffah yang s\iqah
 Abu Hatim : s\iqah
 Abdur Rahman : s\iqah
Sejauh pencarian penulis megenai penilaian ulama’ terhadap beliau, tidak ada ulama’ yang memberikan nilai negatif terhadap kepribadiannya. Sehingga dipastikan bahwa Syihab bin ‘Abbad berstatus s\iqah dan hadis yang diriwayatkan darinya dapat dijadikan sebagai hujah.
f. Imam al-Bukhari
Imam al-Bukhari mempunyai nama lengkap Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin al-Bardizbah (194/256 H/819-879 M), dalam riwayat lain dikatakan al-Bazrawīh. Dalam keterang lain mengatakan, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin al-Bardizbah ibn al-Ahnaf al-Ju’fī al-Bukharī. Nama Bardizbah berasal dari nama pendahulunya yang beragama Majusi , sementara nama al-Ju’fi dinisbatkan pada kebesaran kakeknya al-Mughīrah yang menjadi Islam di bawah bimbingan (mawlā) Yaman al-Ju’fi, gubernur Bukhara saat itu. Beliau lahir di Bukhara pada hari Jumat tanggal 13 Syawwal 194 H (21 Juli 819 M) dan meninggal di tempat yang sama pada tanggal 30 Ramadhan 256 H (31 Agustus 879).
Imam Bukhāri berkelana untuk memperdalam hadis ke berbagai daerah diantaranya Hijāz, Syām, Khurasan, Mesir dan dia bertemu dengan para Muhadditsīn al-Amshār, beliau berguru pada Makki bin Ibrahim al-Bulkhī, ‘Abdān bin ‘Usmān al-Marūzī, Abū ‘Āshim al-Syaibān, Muhammad bin Yūsuf al-Faryābī, Abū Nu’aim al-Fadhl bin Dikkīn, Ahmad bin Hanbāl. Abu Ma`mar, Ibrāhīm bin Mūsā al-Razi, Ahmad bin Muhammad al-Azrāqi, Sa’id bin Sulaiman al-Wasiti, Sulaimān bin Harb, Sulaiman bin Abdurrahman al-Dimasyqi, Abdullāh bin Muhammad al-Ju’fi al-Musnadi, Abu Mughīrah Abdul Qudūs bin Hujjaj al-Khaulāni, Ubadillah bin Musa, Ali bin al-Madini, Muhammad bin Sa’īd bin al-Asbahāni, Muhammad bin Abdullāh bin Numair, Syihab bin ‘Abbad, Yahya bin Abdullāh bin Bukair, dan Yahya bin Ma’īn.
Sedangkan beberapa muridnya yaitu at-Turmudzi, Ibrāhim bin Ishāq al-Harbi, Ibrāhīm bin Mūsa al-Jauzi, Abu Bakar Ahmad bin Amr bin Abi ‘Āshim, Ahmad bin Muhammad bin Jalīl, Ishak bin Ahmad bin Khalāf al-Bukhārī, Abu Sa’īd Bakar bin Munīr bin Khulaid bin ‘Askar al-Bukhārī, Abu Yahyā Zakariyā bin Yahyā al-Bazzaz, Sulaim bin Mujāhid bin Ya’is al-Kirmāni, dll.
Adapun mengenai kepribadian beliau, para ulama memberikan beberapa penilaiann, diantaranya:
 Amr bin Ali: sesuatu yang tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismāil (Imam Bukhāri) bukanlah hadits.
 Abu Mus’ab: Muhammad bin Ismā’il adalah seorang ahli Fiqh dan hadits.
 Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Muhammad bin Abdullāh bin Numair: Kami belum pernah melihat orang seperti Muhammad bin Ismā’il.
 Ibnu Huzaimah : Tidak ada yang lebih tahu dan hafal hadis selain dia.
 Ibnu Sholah: Ia bergelar Amir al-Mukminin dalam hadis.
 Ahmad ibn Sayyar: Ia adalah penuntut dan pengembara dalam mencari hadis.
 Ibnu Hibban: Ia seorang yang s\iqah.
Berdasarkan data-data di atas, Imam al-Bukhari tidak diragukan lagi kedhabitan dan keadilannya. Sehingga beliau merupakan sosok pribadi yang s\iqah. Terlebih beliau merupakan ulama yang mempunyai kitab hadis yang ditempatkan pada posisi teratas dalam tradisi keilmuan sunni, yang dalam pembuatan kitabnya beliau menerapkan kaidah al-liqa>’ dan al-mu’a>s}arah, yang menjadi indikasi bersambungnya suatu sanad hadis.

3. Persambungan Sanad
Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung ialah bahwa tiap-tiap rowi dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perowi terdekat sebelumnya, dari awal rangkaian sanad hingga akhir. Sehingga tidak ada kecacatan yang terdapat dalam suatu proses transmisi dalam suatu sanad. Ada beberapa keterangan yang dapat memberikan petunjuk dalam penelitian ketersambungan sanad. Dalam hal ini, penulis menggunakan empat tolak ukur.
Pertama, dilihat dari lafadz periwayatan yang bermacam-macam. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari ini memiliki tiga jenis lafadz, yaitu, قَالَ, حَدَّثَنَا , dan .عن Menurut M. Syuhudi Ismail, kata قَالَ masuk dalam kelompok as-sama’, yang memberikan kemungkinan bahwa seorang rowi mendengar hadis secara langsung. Berkaitan dengan lafadz عن menurut ulama banyak kemungkinan mengindikasikan terputusnya sanad. Namun, karena rowi-rowi dalam hadis ini s\iqah, dan tentunya dengan aspek ketersambungan sanad yang lain, maka lafadz عن dalam hadis ini masih dimungkinkan untuk saling bertemu, dan begitu pula dengan lafadz حَدَّثَنَا. Kedua, hubungan guru dan murid antara perowi hadis. Dalam hadis yang menhadi obyek penelitian kali ini, terbukti bahwa semua perowi mempunyai hubungan guru dan murid sebagaimana data-data yang penulis hadirkan pada pembahasan kualitas rowi di atas. Oleh karena itu kemungkinan bertemunya para perowi hadis sangatlah besar. Ketiga, waktu wafat yang tidak terlampau jauh. Sesuai data-data yang penulis hadirkan di atas, dapat diketahui jarak tahun wafat antar perowi. Hal ini mengindikasikan kehidupan yang semasa antara tingkatan pertama dengan tingkatan kedua dan selanjutnya. Dan oleh karena itu, kesempatan untuk bertemu juga cukup besar. Keempat, domisili hidup yang sama. Semua perowi dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari ini berada dalam satu wilayah, yaitu Kuffah, sehingga jarak tempat yang cukup dekat memungkinkan rowi untuk bertemu.
Dengan berdasarkan data-data di atas, cukup memberikan petunjuk bahwa antara perawi hadis terjadi ketersambungan dengan asumsi bahwa mereka mempunyai kemungkinan yang sangat besar untuk meriwayatkan hadis secara langsung dengan adanya pertemuan dalam satu majlis.
4. Kemungkinan Terhindar dari Sya>z\ dan ‘Illah
Ada perbedaan diantara ulama dalam memberikan definisi sya>z\. Imam Syafi’i berpendapat bahwa sya>z\ adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang s\iqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikeluarkan oleh banyak periwayat yang s\iqah pula. Cara untuk mengetahui adanya suatu sya>z\ atau tidak adalah dengan membandingkan semua sanad atau jalur periwayatan yang ada untuk matan yang memiliki topik pembahasan yang sama.
Mengenai hal ini penulis berpendapat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari ini tidak mengandung sya>z\. Pendapat ini didasarkan pada hasil pengamatan penulis yang menemukan bahwa setelah dilakukan kegiatan takhri>j, semua sanad memiliki riwayat hadis yang sama. Walupun ada redaksi yang berbeda, namun hal itu tidak mengurangi maksud dari hadis tersendiri. Sebab, hadis ini nampaknya memang diriwayatkan dengan cara maknawi. Dalam hal ini, penelitian sya>z\ dalam sanad berhubungn dengan matan hadis. Hal ini tak lepas dari makna sya>z\ itu sendiri.
Adapun mengenai illat bukanlah berarti cacat secara umum, tapi cacat hadis yang oleh ulama’ dinyatakan mudah untuk diketahui, yang biasa disebut dengan t}a’nul h}adi>s\. Cacat ini perlu penelitian yang lebih cermat sebab hadis yang bersangkutan tampak shahih dari segi sanad. Adapun cara mengetahuinya sama dengan cara mengetahui sya>z\. Hanya saja, tingkat kesulitan mengetahui illat sebuah hadis lebih tinggi daripada tingkat kesulitan mengetahui sya>z\ hadis.
Sejauh pengamatan yang penulis lakukan, belum ditemukan adanya illat. Ketika meneliti kualitas rowi, tidak ada satu masalah yang ditemukan, baik itu tentang ketersambungan sanad sampai Nabi, bentuk susunan matan hadis, dan juga nama-nama perowi hadis. Oleh karena beberapa hal tersebut, penulis menyatakan bahwa hadis ini tidak mengandung illat sejauh penelitian yang dilakukan.
5. Kesimpulan Kritik Sanad
Bardasarkan data-data yang penulis temukan di atas, hadis ini mempunyai periwayat yang memiliki kredibilitas yang tinggi. Ketersambungan sanad juga tidak ada masalah dan tidak diragukan lagi. Selain itu, hadis ini juga terbebas dari kemungkinan adanya sya>z\ dan ‘illat. Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud ini berkualitas s}ah}i>h dari segi sanad.

E. KRITIK MATAN
Setelah melakukan kritik sanad hadis (kritik eksternal/ an-naqd al-kha>riji ), langkah selanjutnya yakni melakukan kritik terhadap matan hadis (kritik internal/ an-naqd ad-da>khili). Ada beberapa tolok ukur yang telah dirumuskan oleh para ulama dalam melakukakan kritik matan hadis. Dalam kegiatan ini, penulis mendasarkan pada pandangan Shalahuddin al-Adlabi, yakni:
1. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
2. Tidak bertentangan dengan hadis lain dan sirah Nabi.
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra, dan fakta sejarah.
4. Susunan pernyataan menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Namun, sebelum masuk pada kritik matan, penulis akan melakukan sedikit kajian pemaknaan teks hadis terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar suatu hadis dapat diketahui makna aslinya secara pasti. Sebab, ada beberapa hadis yang tidak bisa dimaknai hanya dari teks luarnya saja.
Dalam hadis ini ada kata-kata yang tidak bisa dipahami secara tekstual. Butuh keterangan-keterangan lebih lanjut baik itu dari kitab hadis, kitab syarah ataupun yang lainnya. H{asud dalam hadis ini tidak berarti makna h}asud pada umumnya, yaitu menginginkan hilangnya nikmat Allah yang ada pada orang lain, tapi h}asud yang berarti gibthah , yaitu keinginan untuk memperoleh nikmat seperti orang lain, tapa menhendaki hilangnya nikmat itu dari orang tersebut.
No. Sumber Redaksi Matan
1 Şah}īh} al-Bukhārī no. 71, 1320,
Şah}īh Muslim no.1352
Sunan Ibnu Majah no.4198
Musnad Imām Ahmad no. 3900 لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
2 Şah}īh} al-Bukhārī no. 6772 لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَآخَرُ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
3 Musnad Imām Ah}mad no. 3469 لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا النَّاسَ
Setelah mengetahui isi kandungan hadis, berikut ini penulis paparkan variasi matan dari hasil takhrij di awal pembahasan.

Dari bentuk matan hadis di atas, dapat diketahui bahwa hadis ini diriwayatkan dengan cara maknawi. Secara bentuk susunan lafadz dalam hadis ini tidaklah terdapat cacat, karena adanya perbedaan lafadz hanya merupakan implikasi dari periwayatan maknawi.
Setelah dilakukan beberapa kajian matan di atas, tentunya kaidah kritik matan yang disusun oleh Shalahudin al-Adlabi perlu diterapakan dalam kritik matan pada hadis riwayat Imam al-Bukhari yang menjadi obyek pembahasan pada makalaah ini. berikut beberapa hasil analisis yang penulis lakukan atas hadis Imam al-Bukhari no. 6608 berdasarkan kaidah kritik matan Shalahudin al-Adlabi.
1. Tidak Bertentangan dengan Petunjuk Al-Qur’an
Didalam al-Qur’an termaktub bahwa sikap iri itu dilarang, sebagaimana Q.S. an-Nisa’: 32
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Berkaitan dengan hal ini, hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bukan berarti bertentangan dengan al-Qur’an. Ayat ini bukan berarti melarang keinginan mendapat nikmat sebagaimana yang terdapat dalam matan hadis, karena yang dilarang dalam ayat ini adalah keinginan memperoleh nikmat duniawi belaka. Sedangkan dalam hadis riwayat al-Bukhari menunjukkan sebuah keinginan untuk memperoleh nikmat seperti orang lain yang kemudian akan ditasarufkan dalam hal kebaikan demi kepentingan dunia dan akhirat. Lebih lanjut, keinginan untuk memperoleh nikmat dalam hadis al-Bukhari justru mengindikasikan adanya kesunahan muna>fasah (perlombaan) untuk memperolehnya.
Dengan adanya pemaknaan dari kata h}asud di atas, maka hadis ini justru sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk berlomba-lomba untuk mencari harta dan ilmu pengetahuan. Berikut ayat-ayat yang memerintahkan untuk mencari harta dan ilmu pengetahuan demi kebaikan.
1. Q.S. al-Taubah (9): 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia juga diperintahkan untuk memperdalam ilmu pengetahuannya agar bisa mengamalkan dan mengajarkannya kepada manusia yang lain.
2. Q.S. al-Baqarah (2): 267
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Ayat ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa manusia dianjurkan untuk mencari harta dengan jalan yang baik dan halal, baik itu dengan berdagang ataupun dengan yang lainnya. Sebagaimana redaksi hadis yang tidak hanya menginginkan kepemilikan harta, dalam ayat ini juga diperintahkan untuk menafkahkan harta yang dimiliki di jalan Allah atau jalan kebaikan. Terlihat sekali kesesuaian antara hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di atas dengan kandungan ayat ini.

2. Tidak Bertentangan dengan Hadis Lain dan Sirah Nabi
Hadis imam al-Bukhari ini tidaklah bertentangan jika dipahami dari makna yang sesungguhnya. Jika kata hasud dimaknai dengan makna umum, tentunya akan berlawanan dengan hadis-hadis yang secara tegas melarang. Namun, setelah diketahui bahwa makna hasud dalam hadis ini adalah gibthah, maka terlihat bahwa hadis ini tidaklah bertentangan. Berikut ini hadis yang melarang sikap hasud, yakni hadis riwayat Imam Muslim no. 4642.
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَقَاطَعُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا حَدَّثَنِيهِ عَلِيُّ بْنُ نَصْرٍ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَزَادَ كَمَا أَمَرَكُمْ اللَّهُ
Hadis ini secara jelas melarang adanya sikap hasud. Namun, makna hasud antara hadis ini dengan hadis riwayat Imam al-Bukhari adalah berbeda. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa hadis riwayat Imam al-Bukhari bertentangan dengan hadis ini.
Selain itu, sebagaimana keterangan yang penulis dapatkan, bahwa rasul sendiri telah menafsiri hadis riwayat Imam al-bukhari ini. Hal ini dapat dilihat dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Kabsyah al-Anmari. “perumpamaan dari ummat ini adalah seperti empat macam golongan, yaitu seorang laki-laki yang dianugerahi harta dan ilmu, lalu ia mengamalkan ilmunya dengan hartanya pula; kedua seseorang yang diberi ilmu tapi tidak diberi harta sebagimana orang yang pertama. Kemudian ia berkata, seandainya saya punya harta sebagaimana si fulan, tentu saya akan beramal sebagimana yang dilakukan fulan. Maka kedua laki-laki ini mempunyai pahala yang sama. Perasaan orang yang kedua ini tidaklah disertai dengan keinginan hilangnya harta yang ada pada orang yang pertama.
Kemudian rasul meneruskan pada orang ketiga. “seseorang yang tidak diberi ilmu tapi diberi harta, sehingga ia membelanjakan hartanya dalam rangka maksiat kepada Allah. Keempat adalah orang yang tidak diberi harta dan ilmu, kemudian ia berkata:” seandainya saya diberi harta layaknya si fulan, tentu saya akan menggunakannya dalam kemaksiatan. Maka keduanya sama-sama mendapatkan dosa, dan Rasulullah mencela orang ketiga dan keempat yang dari segi keinginannya berbuat maksiat, tidak dari segi mendapatkan kenikmatan yang akan ditasarufkan pada jalan kebaikan.
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat dan logika
Berbicara mengenai hal ini, hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari justru memberikan manfaat bagi manusia. Hal ini dapat diketahui dengan maksud sebenarnya yang terkandung dalam hadis. Ketika manusia mempunyai keinginan untuk menjadi seperti ulama’ yang mempunyai ilmu sangat tinggi, ia akan terpacu untuk menjadi seperti itu dengan usaha yang keras. Adanya keinginan untuk menjadi seperti orang lain dalam hadis ini justru berdampak positif. Ia akan belajar dengan tekun agar menguasai ilmu pengetahuan. Kemudian, ia akan mengajarkannya kepada orang lain serta mengamalkannya sendiri. Kerena yang menjadi keinginan dalam hadis ini tidak hanya ilmunya saja, tapi juga pengaplikasian ilmu itu sendiri. Begitu juga keinginan menjadi kaya sebagaimana orang lain yang mempunyai harta, kemudian mentasarufkannya dalam jalan Allah. Ia akan berusah dan bekerja dengan halal demi mendapatkan harta yang kemudian bisa ia gunakan untuk bersedekah.
Melihat perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, nampaknya kemajuan tidak hanya ditemukan dalam masyarakat muslim saja. Justru di kalangan non-muslim mengalami peningkatan yang lebih signifikan. Dalam hal ini, jika kita melihat pada al-Ibrah dari hadis, maka sikap iri terhadap orang non-muslim juga diperbolehkan. Hal ini dimaksudkan agar umat muslim terdorong untuk mau terus meningkatkan ilmu pengetahuannya guna mendapatkan kenikmatan hidup yang telah disediakan oleh Allah SWT.
Lebih lanjut, dengan adanya hadis ini akan memberikan banyak orang yang berilmu dengan diringi pengaplikasian ilmu itu sendiri dan diajarkan kepada orang lain, serta orang kaya yang mentasarufkan hartanya di jalan Allah. Hal ini tak lain disebabkan karena keinginannya sendiri yang timbul atau termotivasi dari sosok manusia lain yang memiliki nikmat serupa. Singkatnya, keinginan ini akan menimbulkan tindakan aktif dan positif.
4. Susunan pernyataan hadis menunjukkan sabda kenabian
Dari redaksi hadis yang dipakai dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari ini, sudahlah menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Hal ini dapat dilihat dari kesederhanaan redaksi dan kandungan matan yang tidak berlebih-lebihan. Dari isi matan hadis itu sendiri, dapat dikategorikan bahwa hadis ini disabdakan oleh Nabi Muhammad yang berkedudukan sebagi rasul pembawa risalah. Selain itu faktor luar yang mendukung ialah rasul menafsiri sendiri hadis tersebut.
• Kesimpulan Kritik Matan
Berdasarkan kritik matan di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud ini bersifat Şah}īh. Sebab, dari beberapa persyaratan yang diuji atau diterapkan dalam hadis ini, tak ditemukan satupun masalah berarti yang bisa mempengaruhi kualitas matan hadis. Lebih lanjut, hadis ini tidak bertentangan dengan riwayat lain, kandungan hadis tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, hadis, akal dan logika serta fakta sejarah. Dengan demikian hadis ini bisa diamalkan dan dipakai sebagai hujah.
Bahkan jika hadis ini dikontekstualisasikan pada saat ini, tentunya akan masih sangat relevan. Mengingat sebuah keberhasilan seseorang pada dasarnya ditentukan dari suatu keinginan. Dalam hal ini, keinginan untuk menyamai kelebihan seseorang berupa harta dan ilmu yang digunakan pada jalan Illahi, mendasari sebuah tindakan dari orang yang ingin mempunyai nikmat yang serupa. Tepatnya keinginan tersebut bisa menjadi motifator guna meraih apa yang diinginkan.
Pada kenyataannya, saat ini banyak sekali manusia yang menginginkan menjadi seorang ulama’ yang berilmu tinggi yang mengaplikasikannya secara konkrit dalam kehidupan. Pun juga manusia yang berkecukupan harta dan mampu bersedekah layaknya seorang jutawan yang menggunakan hartanya di jalan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa hadis riwayat Imam al-Bukhari ini bersifat universal.
Secara tidak langsung hadis ini membawa pesan-pesan moral, spiritual, dan juga sosial yang dalam hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan hidup manusia. Apa jadinya jika manusia tidak mempunyai keinginan yang lebih maju atau minimal sama atas apa yang dimiliki oleh orang lain, dan tentunya apa yang diinginkan tersebut akan berdampak pada aspek ruhaniyah. Hadis ini juga mengajarkan jangan hanya menginginkan suatu kekeyaan atau ilmu yang mendalam. Perlu adanya perwujudan atau lebih tepatnya pengaplikasian atas apa yang dimiliki demi kepentingan umum, terlebih demi kepentingan maslahat umat islam.
F. Kesimpulan
Dari kajian terhadap hadis riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud tentang kebolehan sikap hasud (dalam artian gibthah), penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Berdasarkan kegiatan takhri>j al-h}adis\, secara keseluruhan ada tujuh hadis yang tersebar dalam beberapa kitab dengan 11 jalur periwayatan.
2. Berdasarkan kajian i’tiba>r al-sanad, hadis riwyat Imam al-Bukhari iini termasuk hadis ah}ad dengan kategori gari>b.
3. Berdasarkan kajian kritik sanad, hadis ini berstatus s}ah}i>h}.
4. Berdasarkan kajian kritik matan, hadis riwayat Imam al-Bukhari ini bestatus s}ah}i>h} dan maqbu>l. Dengan demikian hadis ini bisa diamalkan dan bisa dijadikan sebagai hujah.
5. Secara kontekstual, hadis riwayat Imam al-Bukhari ini bersifat universal, karena pesan yang dikandung oleh hadis ini masih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini.
6. Hadis ini memberikan pesan-pesan moral-spiritual dan sosial humanis. Diantaranya adanya keinginan untuk mencapai sesuatu yang baik. Selain itu juga terdapat unsur ta’awun karena yang diinginkan tidak hanya berupa ilmu dan hartanya saja, tapi juga pada penerapannya bagi kemajuan umat.

Demikianlah kajian terhadap hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud tentang kebolehan sikap hasud. Semoga penelitian ini bisa memberikan kotribusi dalam bidang akademik dan bisa memberikan pelajaran bagi tindakan dalam hidup. Terlepas dari itu, penulis menyadari masih banyak kekurangan, baik dalam hal penulisan ataupun konten makalah sendiri. Koreksi dan bimbingan dari bapak dosen pengampu sangat penulis harapkan guna pembuatan makalah yang lebih baik kedepannya.
Wallahu a’lam bi al-Shawab...

Tahamul Ada' Hadis

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggu...