Terima kasih anda telah mengunjungi blog kami. Semoga bisa mengabil manfaat dari setiap isi yang kami tampilkan.

1.12.2011

pemikiran sunnah fazlur rahman

A. Pendahuluan
Merupakan fakta sejarah yang tak lagi diragukan keabsahannya bahwa Nabi Muhammad dikirim kepada umat manusia adalah untuk memperbaiki akhlak, tepatnya guna mencapai budi pekerti yang luhur. Nabi lahir di lingkungan masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi, namun lemah dalam dataran akhlak. Terbukti adanya kesenjangan-kesenjangan sosial diantara satu elemen masyarakat dengan elemen yang lainnya, pun juga pada perilaku tiap individunya. Fenomena itu kemudian dilebur sedikit demi sedikit melalui risalah yang Rasul terima dari Sang Pemberi nafas kehidupan. Rasul datang bagaikan cahaya yang selalu memberikan penerangan kepada siapapun, hingga manusia dapat terbebas dari gelapnya pandangan mata kehidupan.
Berkembangnya zaman pasca wafatnya Nabi, membuat sunnah Nabi ditafsirkan dengan menggunakan ijtihad personal dalam rangka agar permasalahan yang dihadapi dapat memperoleh jalan keluar yang sesuai pada masanya. Tentunya penafsiran tersebut didasarkan pada tauladan nabi. Sehingga kemungkinan untuk melakukan ijtihad dalam rangka menafsiri sunnah nabi menjadi suatu yang penting, setidaknya menurut Fazlur Rahman. Tentunya ijtihad itu harus didasari ketulusan agar hasilnya terbebas dari tendensi-tendensi yang dapat merusak spirit dari tauladan Nabi.
Di Pakistan, pelita yang dinyalakan oleh Syah Waliyullah al-Dihlawi terus menyala dan memancarkan cahayanya. Didirikannya Institute of Islamic Research dapat dipandang sebaga salah satu upaya guna mereevaluasi sikap-sikap religius dan moral yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah.

B. Riwayat Hidup dan Pendidikan Fazlur Rahman
Seorang Rahman dilahirkan di tengah-tengah keluarga malak yang terletak di Hazara sebelum India terpecah, kini merupakan bagian dari Pakistan. Tanggal 21 September 1919 menjadi hari pertamanya melihat dunia. Ia dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi , sebuah mazhab sunni yang lebih bercorak rasional dari pada mazhab sunni lainnya. Ayahnya, Maulana Sihabuddin, adalah alumni dari Sekolah Menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband. Berbeda dengan kebanyakan kaum tradisional lainnya, Maulana Syahab Al-Din ialah seorang kyai tradisional yang melihat modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi dan bukan dihindari. Dan nampaknya ini juga disetujui oleh Fazlur Rahman.
Namun, tak demikian dengan Fazlur Rahman, Ia tidak menenempuh pembelajaran di sekolah ini. Ia hanya diajarkan oleh ayahnya sendiri secara privat sesuai dengan kurikulum Darse Nizami di Darul Ulum Deoband tersebut. Sehingga, walau Rahman tidak secara resmi sekolah di Darul Ulum Deoband, ia mampu menguasai kurikulum yang ada di sekolah itu. Pengetahuan inilah yang melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam Tradisional dengan perhatian khusus terhadap Fikih, Ilmu Kalam, Tafsir, Filsafat, dan Mantiq. Disisi lain, ia belajar nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta kepada ibunya.Selain itu, untuk pendidikan formalnya ia awali dengan belajar di Madrasah yang didirikan oleh Muhammad Qasim Nanotawi pada tahun 1867.
Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar ini dan menyelesaikan sekolah menengah, ia melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana ia lulus dengan penghargaan untuk bahasa Arabnya dan di sana juga ia mendapatkan gelar MA-nya. Kemudian ia meneruskan studinya ke Lahore untuk program Ph.D., tetapi setelah beberapa waktu Rahman merasa tidak puas terhadap mutu pendidikan yang ada di dalamnya, akhirnya ia memutuskan untuk tidak meneruskan. Pada tahun 1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi dengan Psikologi Ibnu Sina di bawah pengawasan professor Simon Van Den Berg. Disertasi itu merupakan terjemah kritikan dan komentar pada bagian dari kitab An-Najt, milik filosof muslim kenamaan abad ke-7. Rahman berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1949. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa .
Selama di Oxford tersebut, Rahman berhadapan langsung dengan konflik pribadi secara intens antara pendidikan modern dan tradisionalisnya. Setelah di Oxford ia mengajar bahasa Persi dan Filsafat Islam di Durham University, terhitung mulai 1950-1958. Ia meninggalkan Inggris untuk mejadi Associate Professor pada Kajian Islam di Institute of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal.
Di bawah dekade 1960-an, Rahman kembali ke Pakistan , dan menjabat selama beberapa waktu sebagai salah seorang staf senior pada Institute of Islamic Research. Dua tahun kemudian, ia ditunjuk sebagai direktur lembaga tersebut. Dia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology oleh pemerintah Pakistan. Kedua Lembaga Islam tersebut Ia manfaatkan untuk menyampaikan gagasan pembaharuan dalam dunia islam yakni menafsirkan kembali islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.
Disisi lain ia harus berhadapan dengan kenyataan yang keras , masalah intelektual, dan masalah politik yang kompleks. Hal ini sangat mempengaruhi agama dan masyarakat di Pakistan. Dengan menyorot pada ide reformasi yang diusung Rahman, partai-partai politik dan kelompok-kelompok agama yang bertentangan dengan Ayub Khan berupaya menggagalkan keinginan pemerintah. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur'an, fatwa mengenai kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan. Ide-ide tersebut juga banyak menuai kecaman dari golongan tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan.
Setelah adanya pergolakan yang mempengaruhi kesehatan dan juga kepemimpinannya di Lembaga Riset Islam dan di Dewan Penasihat, Fazlur Rahman mengundurkan diri dari kedua jabatan tersebut. Dia memutuskan untuk hijrah ke Chicago, dan sejak 1969 menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam berbagai aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago sampai Ia wafat pada 26 juli 1988. Ketika menjalani rutinitasnya di University of Chicago, ia mendapatkan waktu untuk menjadi konsultan bagi pemerintahan Indonesia dalam memantapkan IAIN dan juga sebagai konsultan bagi Amerika Serikat dan Gedung Putih.
Dapat kita lihat dalam diri Fazlur Rahman bahwa ia telah membawa suatu ikatan multikultural yang unik dari Tradisionalisme Islam Suni, Modernisme Islam progresif dan Keilmuan Barat. Keilmuan tradisionalis yang ia miliki memungkinkannya berkarya secara baik dalam hukum Islam dan hadis. Pondasi modernisme Islam memungkinkannya untuk melihat bahwa seseorang dapat merenggut semangat Islam dan memandang tantangan modernitas dengan antusiasme. Studinya dalam filsafat Islam memperlihatkannya pengaruh Helenistik terhadap filsuf-filsuf muslim dan Islam tradisional sebagai suatu keseluruhan.
C. Karya-Karya Fazlur Rahman
a. Avvicena’s De Anima. New York, Oxford University Press, 1956.
b. Islam. edisi ke-2 Chicago, University of Chicago Press, 1979
c. Islamic Methodology in History. Karachi, Iqbal Academy, 1965.
d. Major Themes of The Qur’an. Chicago, Bibliotheca Islamica, 1980.
e. Islam and Modernity: Transformative of an Intelektual Tradition. Chicago, University of Chicago Press, 1982.
f. Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy. Edisi ke-2 Chicago, University of Chicago Press, 1979.
g. Dll.
D. Sunnah Menurut Fazlur Rahman
Sunnah Nabi adalah sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi Muslim pada zaman lampau, dengan menafsirkan teladan-teladan Nabi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi baru yang mereka peroleh, dan penafsiran yang kontinu dan progresif, walaupun berebada bagi daerah-daerah yang berbeda, disebut pula sebagai Sunnah.
Fazlur Rahman menyatakan bahwa ”sunnah adalah sebuah konsep perilaku baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Dengan perkataan lain Sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku, baik terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulangkali. Menurut Fazlur Rahman sebuah Sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif: ”Keharusan” moral adalah sebuah unsur yang tak dapat dipisahkan dari pengertian konsep Sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek aktual tetapi juga sebagai ”praktek yang normatif” dari masyarakat tersebut . Fazlur Rahman menyatakan bahwa konsep ”tingkah laku normatif” atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Maka menurutnya unsur yang ada dalam pengertian yang melengkapi ”sunnah” tersebut termasuk unsur ”kelurusan” dan ”kebenaran”. Dalam penjelasannya, sunnah sesungguhnya berarti “memberikan sebuah teladan” agar sunnah tersebut akan atau harus diikuti oleh orang-orang lain.
Secara garis besar Fazlur Rahman mengatakan bahwa, Sunnah Nabi lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah konsep pengayoman dan mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat umum, dari pada ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang dipegang secara mutlak. Hal ini secara teoritis dapat disimpulkan secara langsung dari kenyataan bahwa Sunnah adalah sebuah terma perilaku (behaviral) yang bercorak situasional; karena di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara moral, psikologis dan material, maka Sunnah Nabi tersebut haruslah dapat dikembangkan, diinterpretasikan dan diadaptasikan.
Analisis historis Farlur Rahman terhadap al-Awza’i yang dalam suatu kasus tidak sependapat dengan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa ”seorang yang menjadi Muslim di negeri non-Muslim meninggalkan kampung halamannya untuk bergabung dengan Muslim-muslim lainnya sedang negerinya kemudian jatuh ke tangan kaum Muslimin, maka harta kekayaan yang berada di negerinya tidak dikembalikan kepadanya tetapi dimasukkan ke dalam mal al-ghanimah. Al-Awza’i menentang pendapat Abu Hanifah dengan mengemukakan bahwa ketika kota Mekkah jatuh ke kaum Muslimin Nabi telah mengembalikan harta kekayaan orang-orang yang telah meninggalkan kota untuk bergabung dengan kaum Muslimin di Madinah. Menurut Abu Yususf, al-Awza’i berkata : ”Manusia yang pantas untuk diukuti dan yang Sunnahnya paling patut untuk diikuti adalah Nabi” Abu Yusuf dalam membela pendapat Abu Hanifah mengatakan bahwa praktek kaum Muslimin adalah sesuai dengan pendapat Abu Hanifah sedang perlakuan Nabi Muhammah di Mekkah merupakan pengecualian : ”Demikianlah Sunnah dan praktek Islam (walaupun) Nabi Nabi sendiri tidak melakukannya (ketika di Mekkah)”. Kemudian Abu Yusuf mengemukakan Sunnah Nabi dengan suku Hawazin yang berebeda. Suku Hawazin setelah mengalami kekalahan, Banu Hawazin menghadap Nabi, memohon ampun serta kebebasan bagi orang-orang mereka yang ditawan serta mengembalikan harta kekayaan mereka. Nabi memenuhi harapan mereka dengan menyerahkan harta rampasan yang merupakan bagian mereka dan perbuatan itu diikuti, kecuali suku-suku tertentu diantara mereka. Oleh karena Nabi terpaksa memberi ganti rugi kepada suku-suku tersebut, dengan demikian harta kekayaan dan budak-dudak milik Banu Hawazin dapat dikembalikan semuanya.
Dengan analisis ini Fazlur Rahman menyatakan bahwa hal yang pertama sekali harus kita perhatikan di dalam kasus di atas adalah pernyataan Awza’i bahwa ”Manusia yang Sunnahnya paling patut untuk di diikuti adalah Nabi”. Pernyataan ini menurut Fazlur Rahman mengandung pengertian bahwa, Sunnah atau preseden yang otoritatif dapat bersumber dari setiap yang kompoten, dan Sunnah Nabi jauh lebih tinggi daripada preseden-preseden lainnya dan memiliki prioritas di atas preseden-preseden tersebut. Hal kedua adalah penggunaan istilah Sunnah oleh Abu Yusuf dengan membedakan sunnah sebagai praktik yang diterima oleh kaum Muslimin dan sunnah sebagai tindakan Nabi Muhammad. Abu Yusuf memandang tindakan Nabi Muhammad pada saat merebut kota Mekkah sebagai sebuah kekecualian dan tidak dianggapnya sebagai sunnah. Sementara al-Awza’i memandang tindakan Nabi tersebut merupakan sebuah sunnah. Menurut Fazlur Rahman dari dua pendapat ini terlihat perbedaan penafsiran terhadap suatu kasus yang dilakukan oleh Nabi, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Dengan kasus yang dimukakan di atas, Fazlur Rahman menyimpulkan ; pertama, walaupun jelas sunnah secara ideal bersumber dari teladan Nabi, tetapi konsep sunnah yang dipergunakan oleh umat Islam di masa lampau, secara aktual mencakup praktik yang dilakukan Ummat, kedua, bahwa sunnah yang hidup merupakan sebuah proses yang sedang berjalan, karena disertai ijtihad dan ijma’. Melihat itu semua, Rahman menyatakan bahwa hanya orang-orang yang ahli di bidang hukum dan intelegensi tinggi sajalah yang yang boleh memperluas sunnah yang hidup tersebut (dalam hal ini berarti melakukan ijtihad). Hal ini bertujuan untuk mencari metodologi yang kokoh dan pasti untuk dijadikan landasan bagi sunnah yang hidup itu sendiri.
Fazlur Rahman menyatakan bahwa sunnah yang bersumber dari nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan untuk bersifat spesifik dan mutlak. Selain itu, bahwa konsep sunnah setelah nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah dari Nabi tetapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah dari nabi tersebut. Dalam hal ini terlihat bahwa sunnah telah mengalami evolusi. Tentunya unsur kreatif dari konsep ini adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi menjadi ijma’ yang didasarkan pada petunjuk pokok dari Sunnah Nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang spesifik dan mutlak.
E. Hadis dalam Pemikiran Fazlur Rahman
Hadis yang secara harfiah berarti cerita, penuturan, atau laporan adalah sebuah narasi yang biasanya sangat singkat dan bertujuan memberikan informasi mengenai perkataan nabi, perilaku nabi dan taqrir nabi, juga informasi yang sama mengenai para sahabat, terutama sahabat senior dan lebih khusus lagi khalifah empat yang pertama. Setiap Hadis mengandung dua bagian, teks (matan) hadis itu sendiri dan mata rantai transmisi (sanad). Baik ahli-ahli sejarah terdahulu maupun modern sependapat bahwa mula-mula Hadis muncul tanpa dukungan sanad kurang lebih pada pertukarab abad ke-1 H. Sekitar masa ini pulalah Hadis muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis.
Fazlur Rahman memandang bahwa hadis memang telah ada sejak permulaan perkembangan Islam. Merupakan sesuatu yang wajar apabila seseorang membicarakan perkataan dan perbuatan Nabi yang ia anggap sebagai panutan. Sehingga sangatlah salah jika mengatakan bahwa hadis belum ada pada awal perkembangan islam. Tetapi, hadis-hadis pada zaman nabi hanya digunakan dalam kasus-kasus informal karena satu-satunya peranan hadis adalah memberikan bimbingan dalam praktek aktual kaum muslimin yang dalam hal ini telah dipenuhi oleh Nabi sendiri. Dari penjelasan ini, lebih tepat dikatakan bahwa hadis adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh Ummat muslim di masa lampau. Setelah nabi wafat, hadis nampaknya memiliki fungsi semi-formal karena sangat wajar sekali jika generasi yang sedang bangkit tersebut berusaha mempelajari kehidupan nabinya. Sayangnya tak ada bukti bahwa hadis-hadis telah dihimpun pada masa ini. Sunnah Nabi diinterpretasi untuk tujuan praktis, yaitu sebagai sesuatu yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi praktek kaum Muslimin. Karena itu hadis-hadis secara bebas ditafsirkan oleh ummat Islam sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi, dan dinamakan sebagai ”Sunnah yang hidup”. Maka, pada pase ketiga dan keempat dari abad pertama melalui proses penafsiran secara bebas demi praktik yang aktual, ”sunnah yang hidup” berkembang dengan pesat di kalangan ummat Muslimin dan karena perbedaan di dalam praktik ”sunnah yang hidup”, maka hidits pun berkembang menjadi sebuah disiplin yang formal. Lebih lanjut, Fazlur Rahman menyatakan bahwa hadis adalah tradisi verbal, sedangkan sunnah (tradisi yang hidup) adalah transmisi non-verbal.
Menurut Fazlur Rahman, sesungguhnya sebagian besar kandungan dari keseluruhan hadits adalah tidak lain dari Sunnah-ijtihad dari generasi pertama kaum Muslimin. Ijtihad ini bersumber dari ide individu, dengan perkataan lain Sunnah yang hidup di masa lampau terlihat di dalam cermin hadits yang disertai dengan rantai perawi. Namun di antara Sunnah dengan Hadits ada perbedaan di antaranya; yaitu apabila secara garis besar Sunnah merupakan sebuah fenomena praktis yang ditujukan kepada norma-norma behavioral, sedangkan Hadits tidak hanya menyampaikan norma-norma hukum tetapi juga keyakinan-keyakinan dan prinsip relegius. Dengan adanya kenyataan sejarah hadis di atas, ia justru menjunjukkan semangat yang ditafsirkan dari sunnah Nabi. Jadi dapat dikatakan pula bahwa hadis adalah “sunnah yang hidup”.
F. Meneropong Konsep Evolusi Sunnah Fazlur Rahman
Dalam kajian Islamic Methodology in History (Membuka Pintu Ijtihad), Fazlur Rahman membahas evolusi sunnah – hadits dan praktek ijtihad secara panjang lebar. Temuan Fazlur Rahman dalam penelitian karya ini adalah : (1) bahwa dalam perjalanan sejarah telah terjadi penggeseran dari otoritas sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup dan akhirnya menjadi hadist. (2) Sunnah Nabi merupakan sunnah yang ideal, sunnah yang hidup merupakan interpretasi dan implementasi kreatif para sahabat dan tabi’in terhadap sunnah ideal tersebut. Sedang hadits merupakan upaya penuturan sunnah dalam suatu catatan. (3) Sunnah dan Hadits ada perbedaan yang sangat penting : secara garis besara Sunnah merupakan sebuah fenomena praktis yang ditujukan kepada norma-norma behavioral, sedangkan Hadits tidak hanya menyampaikan norma-norma hukum tetapi juga keyakinan-keyakinan dan prinsip-prinsip relegius. (4) Kandungan aktual sunnah dari generasi-generasi Muslim di masa lampau secara garis bersarnya adalah produk ijtihad apabila ijtihad ini, melalui interaksi pendapat secara terus menerus, akhirnya dapat diterima oleh semua ummat atau disetujui secara konsensus (ijma’). Karena sebagian besar kandungan dari keseluruhan hadits adalah tidak lain dari Sunnah ijtihad dari generasi pertama kaum muslimin.
Dari beberapa hal di atas—sebagaimana yang penulis ungkapkan di awal pembahasan— dapat kita lihat bahwa terdapat dua substansi yang bersatu dalam sunnah yang hidup., yaitu teladan nabi dan penafsiran kreatif generasi muslim awal. Berikut ini adalah hubungan organis dari sunnah, ijtihad, dan ijma’.



Dengan adanya hubungan seperti ini, dapatlah kita pahami bahwa sunnah Nabi dipahami oleh para penerusnya dengan menggunakan ijtihad. Sehingga pada gilirannya ada suatu hal yang dipraktikkan secara regional atau lebih dari penafsiran kreatif terhadap teladan nabi. Hal ini tentu saja menimbulkan perbedaan, karena memang karakter ijtihadnya pun berbeda, tergantung background situasional masing-masing wilayah.
Setelah mengetahui hubungan antara sunnah nabi, ijtihad, dan ijma’, tentunya suatu hal yang penting mengetahui konsep evolusi sunnah dari tokoh yang dibahas dala makalah ini. Berikut ini arah pemikiran Fazlur Rahman tentang evolusi sunnah berdasrkan pembacaan penulis.












Dari gambaran di atas, dapat penulis terangkan sebagai berikut. Mula-mula terdapat teladan Nabi. Tentu saja teladan itu diikuti oleh para sahabatnya dan sesuatu yang wajar jika umatnya mengisahkan kembali perbuatan dan ucapan nabi (hadis), namun hadis ini bersifat informal. Kemudian setelah rasul wafat, berkembanglah penafsiran atas tauladan nabi dengan bantuan hadis yang ada secara individual. Sehingga, hadis sendiri berubah dari yang sebelumnya informal menjadi semi-formal. Dengan adanya hal ini memunculkan perbedaan-perbedaan antara daerah, semisal Kuffah dan Madinah. Kemudian secara berangsur-angsur pada daerah kekuasaan Islam berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati. Oleh karena itu sunnah tak lain adalah opinion publica. Ketika imperium Islam berkembang dengan pesatnya dan masing-masing daerah berhasil mengembangkan sunnah yang hidup sehingga perbedaan di bidang hukum semakin besar, hadis berubah menjadi disiplin formal. Belakangan setelah periode al-Syafi’i, hadis menempati posisi sentral dalam sistem jurispudensi islam.
Dengan demikian tampaklah bahwa sunnah atau praktek masyarakat pada masa-masa awal dipakai menjadi standar bagi manifestasi sunnah ideal nabi, sedangkan masa-masa belakangan, khususnya masa al-Syafi’i dan seterusnya, hadislah yang menjadi standar bagi manifestasi teladan nabi.
G. Pandangan Fazlur Rahman terhadap Pola Pikir al-Syafi’ dalam Penggunaan Sumber Hukum
Sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam pembahasannya sebelumnya, bahwa dengan adanya formalisasi sunnah yang hidup menjadi hadis, membuat hubungan antara ijtihad-ijma’ menjadi rusak. Dalam hal ini, konsep al-Syafi’i terhadap sunnah adalah bahwa sunnah dalam artian sunnah Nabi di bawa kepada konsep hadis. sedangkan sunnah dalam artian tradisi yang hidup ia bawa kepada konsep ijma’ menjadi penyebab perubahan dalam hal sumber hukum.
Sunnah diinterpretasikan dengan Ijtihad, karena ijtihad merupakan sarana untuk menginterpretasi sunnah, sedangkan ijma’ merupakan produk ijtihad. Menurut Fazlur Rahman, Ijma’ merupakan produk antipasi atau proyeksi kemasa depan, dengan demikian kreatifitas dan orginalitas ummat berkembang. Tetapi menurut Fazlur Rahman, apabila membalikan urutan ijtihad-ijma’ yang wajar menjadi ijma’ - ijtihad, hubungan organis di antara ijma’ dengan ijtihad menjadi rusak. Ijma’ tidak lagi merupakan sebuah proses yang menghadap ke masa depan sebagai produk dari ijtihad secara bebas. Ijma’ menjadi statis dan menghadap ke masa lampau. Dengan demikian segala sesuatu yang harus dilaksanakan saat ini seolah-olah telah terlaksana di masa lampau. Fazlur Rahman mengakui kegeniusan al-Syafi’i berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan kepada struktur sosial-relegius kaum Muslimin pada zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreativitas dan originalitas mereka.
Adanya pergeseran penggunaan sumber hukum ini di awali dengan adanya formalisasi hadis. Di bidang Yurispudensi, gerakan penciptaan hadis ini dipelopori oleh al-Syafi’i. Dengan usahanya, ia berhasil mebuat formulasi pokok mengenai prinsip-prinsip yurispundensi Islam. Menurut Fazlur Rahman, untuk membahas itu semua, kita harus mengetahui terlebih dahulu hakekat ijma’. Dalam pandangan al-Syafi’i, ijma’ adalah sesuatu yang bersifat formal dan total; ia menghendaki kesepakatan yang sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak ada perbedaan pendapat lagi. Dalam pandangan Fazlur Rahman, tentu ijma’ versi al-Syafi’i ini berbeda dengan konsep ijma’ dalam madzhab-madzhab sebelumnya. Ijma’ bukanlah fakta statis yang ditetapkan atau diciptakan. Melainkan sebuah proses demokratis yang terus menerus; ijma’ tidak bersifat formal tetapi informal. Bahwa ijma’ tumbuh secara wajar,berkembang dan menerima perbedaan-perbedaan. Dalam hal ini ijtihad mempunyai andil besar agar ijma’ tersebut bisa berkembang namun tetap sesuai dengan teladan Nabi.
Menurut pribadi penempatan ijtihad setelah ijma’ ditujukan untuk meminimalisir berkembangnya dominasi ra’yu dalam membuat hukum islam. Selain itu bahwa ijma’ harus berasal dari kesepakatan seluruh ummat adalah karena ijtihad individu, yang mungkin saja berkembang menjadi opini general (regional), dimungkinkan ada tendensi-tendensi tertentu, baik itu politik atau yang lainnya. Namun dari semua itu , yang mendasari al-Syafi’i berpendapat demikian adalah untuk meminimalir perbedaan-perbedaan yang ada.

H. Kesimpulan Dan Penutup
Berdasarkan analisis teoritis dan analisis data historis, Fazlur Rahman menyimpulkan sifat otoritas Sunnah Nabi lebih cernderung dikatakan sebagai sebuah konsep pengayoman dan mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat umum (a general umbrella concept), dari pada ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang dipegangi apa adanya. Hal ini secara teoritis dapat disimpulkan secara langsung dari kenyataan bahwa Sunnah adalah sebuah terma perilaku (behaviral) yang bercorak situasional. Maka Sunnah Nabi tersebut haruslah dapat dikembangkan dengan semangat interpretasi dan adaptasi. Semangat ini telah dipertunjukkan dan dilakukan oleh generasi awal Islam.
Pada zaman Sahabat awal periode I, umat Islam menggunakan dua sumber pokok (al-Qur’an dan Hadits) yang sifatnya sangat dinamis dan historis, tetapi pada akhir periode I dan awal periode II pemikiran keagamaan umat Islam menjadi normatif yang sifatnya kaku dan formal, sehingga hasil pemikiran Islam bersifat a hirtoris dan dokmatis. Fenomena ini disebabkan oleh pengaruh (penetrasi) pemikiran Barat.

Tahamul Ada' Hadis

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggu...