Simpul Iman Sebagai Aktualisasi Humanistik
A. Pendahuluan
Salah satu objek kajian
yang terpenting dalam hadis nabi adalah “al-iman” (kepercayaan) dengan
berbagai aspek kandungan di dalamnya. Hampir-hampir umat Islam terfokus pada
kajian iman dalam pengertian yang terbatas, parsial, atomistik dengan melihat
aspek iman hanya persoalan teologis kepada allah, rasul, kitab-kitab, malaikat,
hari kiamat dan takdir. Padahal dalam beberapa hadis nabi tentang, antara lain
diriwayatkan oleh imam muslim dari Abu Hurairah adalah: “iman itu memiliki 70
cabang lebih (antara 73-79), yang paling tinggi adalah ucapan syahadat “tiada
tuhan selain Allah”, dan yang paling rendah/ringan adalah menyingkirkan sesuatu
yang membahayakan di jalan, rasa malu adalah salah satu cabang iman.
Persoalan iman, nampaknya dipahami hanya berhenti pada ranah teologis
(rukun iman 6) seperti yang selama ini oleh sebagian besar umat Islam. Padahal
al-Qur’an dan hadis-hadis tentang iman menyatakan secara tegas bahwa iman
selalu dikaitkan dengan amal shaleh dan akhlak. Pemahaman yang inklusif semacam
ini nampaknya tidak proposional dapat menjelaskan esensi iman yang sebenarnya,
memisahkan secara diametral aspek teologis di satu pihak dan sosiologis di
pihak lain, sehingga menghasilkan pemahaman yang terpisah-pisah tidak
holistik-komprehensif, pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang senjang antara
dimensi imani-ilahiah dan dimensi sosial (basyariyah).
Akibatnya umat beragama terutama umat muslim terjebak ke dalam pemahaman
hadarah al-nass secara letterlik yang bersifat ekslusif karena terlepas dari
konteks sosial dan kehilangan spirit dan substansi hadarah al-falsafah.
Seolah-olah ada jurang pemisah (
gap) anatara teks dan realitas, ataupun
normativitas dan historisitas tidak pernah bertemu.
Nabi Muhammad SAW sebagai figur utama kehidupan dunia-pun telah
memerintahkan untuk selalu menjaga tali persaudaraan antar manusia. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya hadis rosul yang mengisyaratkan akan pentingnya
hubungan humanis. Dalam makalah ini, penulis bermaksud menghadirkan beberapa
hadis yang koheren antara iman dan kehidupan humanistik, dengan menggunakan
metode kritis matan hadis.
B. Iman dan Kehidupan Sosial
Iman dalam konteks sosial-humanis memberi
pengertian bahwa iman tidak hanya menyangkup aspek keyakinan beragama yang
tertuang dalam rukun iman. Iman juga memberi petunjuk dan tuntutan serta
menaruh perhatian besar terhadap realitas kehidupan manusia di dunia. Dengan
kata lain, iman yang benar-benar sebagai aspek keyakinan berkorelasi positif
dan memberi pengaruh kuat dan signifikan terhadap kualitas kehidupan sosial dan
kemanusiaan.
Korelasi anatara iman dan kehidupan bersifat inheren dan integral yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Paradigma ini menyimpulkan bahwa
keimanan seseorang muslim tercermin dan dapat diukur dari aktivitas sosialnya
sehari-hari. Pribadi yang beriman bukanlah individu yang menjaga jarak dengan
lingkungan sosialnya, atau tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya dimana ia
berdomisili. Berkaitan dengan hal itu Rasulullah secara ekplisit menjelaskan
keterkaitan antara iman dan kehidupan sosial. Diterangkan bahwa iman yang
paling tinggi adalah tauhid
“la ilah illa
Allah”, sedangkan iman yang paling rendah diungkapkan dengan bahasa ”menyingkirkan
bahaya rima di jalan”. Padahal iman sendiri mempunyai 63 atau 73 cabang.
Berdasarkan logika matematis, terdapat cabang keimanan lain yang berada antara
highest
iman dan
lowest iman.
Terdapat di dalamnya rasa malu, bersikap adil, jujur, dermawan, tolong
menolong, menghormati tamu dan sebagainya.
Kemaslahatan sosial merupakan kemaslahatan umum. Tuntutan agama agar kita
bersatu, saling menyayangi, melarang kita agar tidak bercerai berai adalah
tuntutan yang harus didahulukan daripada hal lainnya. Ketika seseorang dengan
keimanannya dapat mengikis pengelompokan, sikap fanatisme, dan sukuisme, ketika
cakrawala pandangannya menjadi luas, maka usaha untuk mempersatukan manusia merupakan
kewajiban yang paling penting. Dalam hal ini, Syaikh Ibnu Baz mengatakan,
“Merupakan hal yang telah dimaklumi bahwasanya urusan setiap hamba tidak akan
sempurna, kemaslahatan mereka tidak terorganisir, ide-ide mereka tidak akan
padu, kecuali mereka mampu mengusung rasa solidaritas, yang inti ajarannya
adalah saling tolong menolong dalam kebaikan, ketaqwaan, kedermawanan, kasih
sayang, kejujuran, keteladanan dan sabar terhadap kebenaran tersebut.
Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam hadis rasul yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, dalam Shahih muslim kitab
birru
al-wasillatu wal adab bab
tahrimu
dhulma muslim no 4650:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا
وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ
وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا
يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ
إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ
أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ
وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ
سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ أُسَامَةَ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ أَنَّهُ
سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ يَقُولُ
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ دَاوُدَ وَزَادَ وَنَقَصَ وَمِمَّا
زَادَ فِيهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى
صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ إِلَى
صَدْرِهِ
“Jangan
saling menghasut, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi, dan
janganlah sebagian dari kalian membeli barang-barang yang telah dibeli orang
lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim adalah saudara
bagi muslim yang lain, maka jangan berlaku aniaya kepadanya, jangan
menelantarkannya, jangan membohonginya, dan jangan merendahkannya. Takwa itu
disini, (beliau mengcapkan hal ini sambil menunjuk ke dadanya dan mengulanginya
hingga tiga kali). Cukuplah seseorang dikategorkan jelek apabila dia
merendahkan saudaanya sesama muslim. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim
adalah haram bagi musim yang lain.”
C. Simpul Iman-Humanitas
1. Tolong Menolong
Sebelum lari kepada pembahasan tolong menolong dari persepektif hadis
nabi, kami akan mencoba menjelaskan konsep tolong menolong dalam persepektif
al-qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama. Dalam al-qur’an dijelaskan
bahwa kita dianjurkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan tidak dalam
hal keburukan. Sebagimana firman-Nya. Q.S. al-Maidah: 2.
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Dari ayat di atas terlihat jelas bahwa manusia satu dengan manusia yang
lainnya itu harus saling tolong menolong tentunya dalam hal kebaikan. Dan hal
itu juga berarti Islam sangat memberikan perhatian khusus kepada manusia yang hidup
sebagai makhluk tuhan, yang harus menghambakan dirinya kepada Allah swt. Dan
juga sebagai makhluk sosial yang harus juga memperhatikan keadaan manusia lain
disekitarnya. Dan kami kira masih banyak lagi al-Qur’an yang berbicara tentang
konsep tolong menolong sebagai aktualisasi humanitas. Diantaranya; al-Maidah:
80, as-Shafat: 25 dan al-Qashas: 24 dan 77.
Setelah kita lihat beberapa perhatian al-Qur’an terhadap konsep tolong
menolong, kini giliran kita melihat konsep tolong menolong dalam hadis nabi sebagai
sumber kedua setelah al-Qur’an.
Konsep tolong menolong dalam hadis nabi digambarkan oleh dua hadis
dibawah ini yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang intinya berbicara
tentang prinsip tolong menolong. Secara teologis, hadis nabi tersebut memberi
pengajaran bahwa menolong tidak didasari oleh adanya niat pamrih atau menuntut
balasan, baik dari yang ditolong ataupun yang menolong. Menolong haruslah atas
dasar “karena Allah” tanpa ada moptivasi ikutan lainnya. Menurut bahasa
humanis, “niat karena Allah” itu bermakna atas dasar persamaan kemanusiaan (
insaniyyah).
Berikut hadis tentang
prinsip tolong menolong:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا
أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو
الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ
كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ
اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Yahya ibn bukair telah menceritakan kepada kami al-laisi telah
menceritakan kepada kami dari uqail dari ibn syihab bahwasanya salim telah
memberitahukannya bahwa abd allah ibn umar telah memberitahukannya bahwa
rasulullah saw, telah bersabda, “seorang muslim adalah saudara muslim yang
lain. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya. Barangsiapa yang memenuhi
kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutthannya. Dan barangsiapa
melapangkan baginya satu kesulitan dari kesulitan seorang muslim, maka Allah
akan melapangkan baginya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat.
Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi
(aibnya) di hari kiamat.
Hasil takhrij hadis di atas:
Nama Kitab
|
Nama Bab
|
No Hadis
|
Muslim
|
Biru Wa Salatu Wa Ladabu
|
4677
|
Tirmidzi
|
Udud Ani Rasulillah
|
1346
|
Abu Daud
|
Adab
|
4348
|
Ahmad Ibnu Hambal
|
Musnad Mukatsirin min Shahabah
|
5103,5388
|
Hadis
kedua tentang prinsip tolong menolong.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و
قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ
اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ
فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و
حَدَّثَنَاه نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ
قَالَا حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ
وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ صَخَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ
أَبِي مُعَاوِيَةَ غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ أَبِي أُسَامَةَ لَيْسَ فِيهِ ذِكْرُ
التَّيْسِيرِ عَلَى الْمُعْسِرِ
Yahya ibn al-Taimi, Abu Bakr ibn Abi Syihab dan Muhamad ibn A’la al-Hamdani
(lafal hadis Dari Yahya), Kata Yahya, Abu Mu’awiyah telah memberitahukan kepada
kami (yang lain, “telah menceritakan kapda kami), dari al-‘A’masy dari Abu
Salih dari Abu Hurairah, karanya Rasulullah saw. Telah bersabda, “barangsiapa
yang menghilangkan satu kesusahan-kesusahan seorang muslim di dunia, Allah akan
menghilangkan satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat.
Barangsiapa yang memudahkan orang yang kesulitan, Allah akan memudahkannya di
dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan
menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah akan menolong seorang hamba
selama ia mau menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh suatu jalan yang di
dalamnya ia mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju
surga. Orang-orang tidak berkumpul disuatu rumah dari rumah-rumah Allah di mana
mereka membaca kitab Allah (al-Qur’an) dan mempelajarinya melainkan ketenangan
akan turun pada mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, malaikat akan
mengelilingi mereka, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi-Nya. Dan
barangsiapa kurang amalnya, maka ia tidak akan memperoleh kehormatan.
Kunci dari kedua hadis di atas untuk prinsip tolong menolong adalah kata
hajjah, kurbah, dan usr. Ketiga kata tersebut memiliki konotasi arti yang sama,
yaitu ketidakmampuan memnuhi kebutuhan. Prinsip tolong menolong untuk mengatasi
masalah-masalah di atas (yang masuk kategori hajjah, kurbah dan usr) dapat
ditemukan dari kata-kata tafrij, tanfis, taisir, dan aun. Kata taisir bermakna
memudahkan, menggampangkan, mencarikan jalan keluar (solusi). Asal maknanya
adalah mudah atau gampang yang terambil dari kata yasara-yasiru-yasran wa
yusran. Kata ini selalu di pertentangkan kata usr (kesukaran).
Sedangakan kata tanfis dan tafrij sama-sama bermakna menghilangkan dan
meringankan. Keduanya biasa disandingkan dengan kurbah (kesusahan).
Sementara kata ‘aun mengandung pengertian pertolongan dan bantuan.
Pemahaman secara subjektif terhadap kedua hadis di atas adalah bahwa
orang-orang yang “memenuhi kebutuhan”, “meringankan beban”, “menyantuni dikala
kesusahan” dan “menolong bagi yang memerlukan” akan mendapatkan balasan yang
setimpal dan serupa dari Allah swt. Tetapi bila dipahami secara objektif, kedua
hadis tersebut menginspirasikan dan memotivasi setiap orang untuk menolong
sesamanya. Karena orang yang suka memberi, pada dasarnya ia telah menanamkan
kebaikan dan berinventasi untuk masa yang akan datang. Kalau ini menjadi
prinsip dalam hubungan sosial, berarti dapat memberi harapan bagi terhapusnya kemiskinan,
pemberantasan kebodohan, terkejarnya ketertinggalan, terciptanya stabilitas
politik, meningkatnya pertumbuhan ekonomi, terjaminnya keamanan, dan lain-lain.
2.
Kedermawanan
Kedermawanan merupakan wujud kepedulian
manusia sebagai makhluk sosial. Sikap ini dapat berarti sebagai wujud sukur
atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Pada hakikatnya, apa saja yang kita
dermakan itu tak lain manfaatnya akan memandang bahwa orang yang dermawan
merupakan orang yang berada posisi terhormat. Orang yang di beripun menjadi
lebih semangantdalam menjalani hidup karena merasa ia hidup tidak sendiri.
Disinilah posisi penting kedermawanan. Manusia diciptakan berbeda-beda satu
sama lain. Penulis berpendapat bahwa karena perbedaan itulah manusia dituntut
untuk saling perhatian, yang salah satu caranya dapat termanifestasi dalam
konsep ini. Berikut ini adalah hadis yang mengisyaratkan untuk bersikap dermawan.
Shahih
Bukhari bab al ghibah wa fadhluha no. 2402:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ
عَنْ أَسْمَاءَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
أَنْفِقِي وَلَا تُحْصِي فَيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَلَا تُوعِي فَيُوعِيَ
اللَّهُ عَلَيْكِ
“Bersedekahlah, dan
janganlah engkau menghitung-hitung, sebab Allah menghitung atas engkau, dan
janganlah engkau mengumpulkan (tanpa zakat), sebab Allah akan mengumpulkan atas
engkau.”
Hadis ini setidaknya terdapat pada 13
tempat dalam kitab primer. Berikut hasil Hasil takhrij dari hadis tersebut:
Nama kitab
|
Nama Bab
|
No Hadis
|
Shahih Muslim
|
zakat
|
1708, 1709,
1710
|
Sunan Tirmidzi
|
Al birru wa
ashilatu an Rasulillah
|
1883
|
Sunan
an-Nasa’i
|
zakat
|
2504
|
Musnad Abu
Dawud
|
zakat
|
1448
|
Musnad Imam
Ahmad
|
Baqi musnad
al-Anshor
|
23930, 25676,
25685, 25697, 25731, 25741, 25748
|
Adapun asbabul
wurud dari hadis di atas sebagaimana diterangkan dalam Shahih Bukhari dari
Asma’, katanya: “aku berkata wahai Rasulullah,
tiada aku memiliki harta apapun, kecuali yang diberikan oleh Zubair
(suamiku) kepadaku. Maka apakah masih harus aku bersedekah? Beliau menjawab: ““Bersedekahlah, dan janganlah engkau
menghitung-hitung, sebab Allah menghitung atas engkau, dan janganlah engkau
mengumpulkan (tanpa zakat), sebab Allah akan mengumpulkan atas engkau.”
Melihat hadis ini, betapa pentingnya
sedekah itu. Seberapa besar barang yang disedekahkan, bukanlah menjadi ukuran
suatu pahala. Hadis ini juga menyatakan larangan memberikan sesuatu di jalan Allah
dengan harapan memperoleh balasan yang lebih banyak dari manusia dan
menghitung-hitung pahala yang akan diperoleh.
Pada
hakikatnya segala harta yang kita sedekahkan, tak lain akan kembali pada kita
sendiri, sebagaimana firman Allah:
Bukanlah
kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk
kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari
keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu
akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya
(dirugikan).
Bercermin
pada firman Allah ini, sungguh suatu keniscayaan bagi seseorang yang tidak
menfkahkan sebagian harta yang dimiliki kepada saudara sesama muslim. Secara
jelas diterangkan bahwa terdapat hak orang lain dalam setiap harta yang dimiliki
seseorang. Diriwayatkan pula dalam hadis lain, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh Abi Hurairah
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ هَمَّامٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرُ بْنُ رَاشِدٍ
عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَخِي وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا
حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ لِي أَنْفِقْ أُنْفِقْ
عَلَيْكَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينُ
اللَّهِ مَلْأَى لَا يَغِيضُهَا سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ أَرَأَيْتُمْ مَا
أَنْفَقَ مُذْ خَلَقَ السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ فَإِنَّهُ لَمْ يَغِضْ مَا فِي
يَمِينِهِ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ وَبِيَدِهِ الْأُخْرَى الْقَبْضَ
يَرْفَعُ وَيَخْفِضُ
Hadis
Qudsi ini secara jelas mengisyaratkan bahwa barang siapa menafakahkan sebagian
hartanya, sesungguhnya Allah akan menganugerahinya rezeki. Kemurahan atau
kedermawanan adalah tanda suburnya iman, mantapnya kepercayaan serta dalamnya
rasa dan penghayatan sosial maupun psikologis.
3. Kasih Sayang
Sudah
sewajarnya bagi seorang manusia untuk saling menyayangi dalam kehidupan di
dunia ini. Keharmonisan, kebahagiaan, dan ketenangan hidup menjadi imbalan jika
konsep ini dapat teraplikasikan dalam skenario kehidupan Illahi. Sebuah konsep
islami yang secara moral maupun sosial dapat memperkuat ukhuwah basyariah. Adapun
wujud cinta kasih yang secara tulus dapat dilihat dalam hubungan anak dan orang
tua. Setiap anak yang keluar dari alam rahim,, secara natural ia mempunyai rasa
kasih sayang kepada orang tuanya. Perasaan seperti inilah yanng perlu
ditimbulkan dan diaplikasikan dalam hidup.
Islampun juga mengajarkan bahwa manusia diciptakan untuk saling
menyayangi. Lebih lanjut, rosulullah sebagai figure sentral dalam masalah
akhlak mempunyai rasa kasih sayang yang begitu besar, baik kepada sesama
manusia maupun makhluk Allah lainnya. Ungkapan dan
ekspresi kasih sayang adakalanya nampak formal dan adakalanya tidak terlihat
(abstrak), karena kasih sayang adalah cerminan dan refleksi hati. Berikut hadis
Nabi yang menunjukkan keurgenitasan sebuah kasih sayang terhadap kereligiusan jiwa
seorang mukmin.
Shahih Bukhari kitab iman bab hubbul rosul minal iman no 14
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ
أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seseoang
di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri.”
Adapun sababul wurud dari hadis di atas adalah sebagaimana diriwayatkan
oleh Tabrani dari Abu Warid al-Qursyi: “Aku berada di samping Bilal ibnu
Burdah, maka seorang laki-laki dari Abdul Qais datang dan berkata: “Semoga
Allah memberi kemaslahatan kepada amirul mukminin, sesungguhnya penduduk Thif
tidak menunaikan zakat mereka dan sungguh aku mengetahui hal itu. Maka aku
sampaikan kepada Amir. Bilal bertanya: “Engkau berasal dariman?”. “Saya berasal
dari Qais”, jawabnya. “Siapa namamu?”. “Fulan, jawabnya. Maka Bilal menulis
kepada polisi untuk menanyakan tentang Abdul Qais. Polisi menjelaskan: “Aku
menjumpainya bekerja di bidang pengawasan. Bilal berkata: “Allahu Akbar, ayahku
menceritakan kepadaku dari kakekku Abu Musa (al-Asy’ari) dari Rosulullah SAW:
Tidak
sempurna iman seseoang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hadis ini menunjukkan bahwa mencuntai orang mukmin dan kehendak
berbuat baik kepada mereka adalah tanda keimanan.
Hasil takhrij hadis di atas.
Nama kitab
|
Nama bab
|
No hadis
|
Shahih Muslim
|
Iman
|
62,63
|
Sunan
an-nasa’i
|
Iman wa
syaroihi
|
4927,4928
|
Sunan ibnu
majah
|
Muqadimh
|
66
|
Ahmad bin
hambal
|
baqi musnad
mukasirin
|
12338,12671.13402,13449
|
Ad-dzarimi
|
Riqaq
|
2624
|
Apabila
sikap kasih sayang ini sudah melekat dalam jiwa seseorang, maka dia akan
berusaha membantu bagaimana membuat orang merasa nyaman dalam menjalankan
aktvitasnya setiap hari. Idealitas kasih sayang yang diajarkan rosul adalah
bahwa ukuran kasih sayang yang semestinya diberikan oleh makhluk Allah yaitu seperti
kasih sayang terhadap dirinya sendiri. Sebesar apa kasih sayang kita pada diri
sendiri, sebesar itu pula kasih sayang yang dicurahkan pada orang lain.
Sebaliknya jika kasih sayang pada diri sendiri tidak berbanding lurus dengan
kasih sayang pada orang lain, Rasulullah menilainya dengan sebutan “tidak
beriman”.Dengan adanya rasa kasih sayang
diantara manusia, kehidupan yang harmonis, saling memahami dan menghormati,
niscaya bukanlah menjadi suatu mimpi belaka.
D. Kesimpulan
Iman
meurpakan hal yang urgen, karena berkaitan langsung dengan Sang Khaliq. Namun, hal itu bukan berarti ruang lingkup
iman hanya pada ranah teologis saja, tetapi di sisi lain iman harus di
aktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat atau kehidupan sosial (humanitas).
Simpul iman seperti tolong
menolong, kasih sayang sesama manusia dan kedermawanan merupakan bentuk
aktualisasi iman dalam kehidupan sosial. Dan apabila orang yang beriman
mengaktualisasikan keimanannya dalam bentuk simpul iman di atas, maka akan
tercipta solidaritas dan kemaslahatan umat. Apabila itu semua teraktualisasi,
maka tidak ada satu pun umat Islam yang kesusahan dan kesulitan dalam
menghadapi hidupnya. Tidak ada umat Islam yang kecewa akan agamanya sendiri,
yang kemudian diikuti dengan berpindah keyakinan kepada agama lain. Karena merasa
agama Islam dan penganutnya kurang memberikan perhatian [tolong menolong, kasih
sayang dan kedermawanan] yang khusus
kepadanya.
Dengan demikian aktualisasi iman
dalam bentuk tindakan itu sangat penting, karena aktualisasi tersebut dapat
menambah tingkatan iman seseorang dalam ranah teologi [kaitannya dengan Sang
khaliq].
Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa apa
yang dihasilkan ini, masih sangatlah
jauh dari kesempurnaan dan simpul iman yang kami sajikan masih sangat
minim dari apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis nabi. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari Bapak Dosen sangat penulis harapkan demi perbaikan ke
depan.
Daftar Pustaka