Terima kasih anda telah mengunjungi blog kami. Semoga bisa mengabil manfaat dari setiap isi yang kami tampilkan.

4.30.2012

Jangan Terlalu Mendengarkan Omongan Orang

Suatu saat ada bapak dan anak hendak bepergian jauh. mereka membawa serta seekor keledai satu-satunya yang dimiliki. Saat melalui perkampungan, ada seseorang berbicara pada mereka. "Hey kalian, punya keledai ko dibiarkan saja. Mending ditunggangi kali, biar bermanfaat. akhirnya, sang anak-pun menaiki keledai itu. beberapa saat kemudian, lewatlah mereka di Pasar yang cukup ramai. lagi-lagi seseorang berbicara kepada mereka. Hei kamu anak kecil, Tega-teganya kamu membiarkan bapakmu berjalan di samping keledai. harusnya bapakmu yang naek keledai. dasar anak gak tau sopan santun sama orang tua. Tidak enak mendengar hal itu, sang anak mempersilahkan bapaknya untuk menaiki keledai. Lama berjalan, mereka kembali melewati perkampungan. nampak seorang pengembala kambing menegur sang bapak karna membiarkan anaknya berjalan kaki, sedang ia enak-enakan naek keledai. sontak sang bapakpun berkata kepada anaknya. "Wahai anakQ, tadi sewaktu kamu menaiki keledai, ada seseorang menghina. sekarang aq yang menaiki, masih saja ada yang menghina. tidak kita naiki juga ada yang menhina. Jadi mari kita naiki bersama-sama.
Akhirnya keledai itupun mereka berdua naiki. Tidak jauh dari sang pengembala kambing, muncul saudagar kaya dengan suara yang menyindir. "Coba kalian lihat, ada seekor keledai kecil dinaiki dua orang". Dasar manusia tidak memiliki belas kasihan terhadap hewan.
Anak dan bapak itupun lantas merasa tersinggung. Mereka turun dari keledai itu. Sang Bapak mengatakan kepada anaknya.
"Wahai anakQ, jika kita mengikuti kata orang terus menerus, pastilah terus ada salahnya. Marilah kita bertindak dengan apa yang kita inginkan, tanpa harus memperdulikan kata orang selagi hal itu baik menurut kita.

Dari cerita tersebut, kita dapat memetik pelajaran bahwa dalam pandangan orang, perilaku kita ditanggapi dengan berbeda. Janganlah kita terlalu mengikuti omongan orang. Ikuti saja kata hati selagi hal itu baik menurut kita dan nilai-nilai kehidupan.

Masalah adalah Tantangan

Bila anda menganggap masalah sebagai beban, anda mungkin akan menghindarinya. Bila anda menganggap masalah sebagai tantangan, anda mungkin akan menghadapinya. Namun, masalah dalah hadiah yang dapat anda terima dengan suka cita. Dengan pandangan tajam, anda melihat keberhasilan dibalik setiap masalah. Masalah adalah anak tangga menuju kekuatan yang lebih tinggi. Maka, hadapilah dan ubahlah menjadi kekuatan untuk sukses anda. Tanpa masalah, anda tak layak memasuki jalur keberhasilan. Bahkan hidup ini pun masalah, karena itu terimalah sebagai hadiah.

Hadiah terbesar yang dapat diberikan oleh induk elang pada anak-anaknya bukanlah serpihan-serpihan makanan pagi. Bukan pula, eraman hangat di malam-malam yang dingin. Namun, ketika mereka melempar anak-anak itu dari tebing yang tinggi. Detik pertama anak-anak elang itu menganggap induk mereka sungguh keterlaluan, menjerit ketakutan, matilah aku! Sesaat kemudian, bukan kematian yang kita terima, namun kesejatian diri sebagai elang, yaitu terbang. Bila anda tak berani mengatasi masalah, anda tak akan menjadi seseorang yang sejati.

cpast: Ipincow

4.28.2012

Relasi Iman dan Kehidupan Sosial


Simpul Iman Sebagai Aktualisasi Humanistik

A.    Pendahuluan
Salah satu objek kajian yang terpenting dalam hadis nabi adalah “al-iman” (kepercayaan) dengan berbagai aspek kandungan di dalamnya. Hampir-hampir umat Islam terfokus pada kajian iman dalam pengertian yang terbatas, parsial, atomistik dengan melihat aspek iman hanya persoalan teologis kepada allah, rasul, kitab-kitab, malaikat, hari kiamat dan takdir. Padahal dalam beberapa hadis nabi tentang, antara lain diriwayatkan oleh imam muslim dari Abu Hurairah adalah: “iman itu memiliki 70 cabang lebih (antara 73-79), yang paling tinggi adalah ucapan syahadat “tiada tuhan selain Allah”, dan yang paling rendah/ringan adalah menyingkirkan sesuatu yang membahayakan di jalan, rasa malu adalah salah satu cabang iman.
Persoalan iman, nampaknya dipahami hanya berhenti pada ranah teologis (rukun iman 6) seperti yang selama ini oleh sebagian besar umat Islam. Padahal al-Qur’an dan hadis-hadis tentang iman menyatakan secara tegas bahwa iman selalu dikaitkan dengan amal shaleh dan akhlak. Pemahaman yang inklusif semacam ini nampaknya tidak proposional dapat menjelaskan esensi iman yang sebenarnya, memisahkan secara diametral aspek teologis di satu pihak dan sosiologis di pihak lain, sehingga menghasilkan pemahaman yang terpisah-pisah tidak holistik-komprehensif, pada akhirnya menghasilkan pemahaman yang senjang antara dimensi imani-ilahiah dan dimensi sosial (basyariyah).
Akibatnya umat beragama terutama umat muslim terjebak ke dalam pemahaman hadarah al-nass secara letterlik yang bersifat ekslusif karena terlepas dari konteks sosial dan kehilangan spirit dan substansi hadarah al-falsafah. Seolah-olah ada jurang pemisah (gap) anatara teks dan realitas, ataupun normativitas dan historisitas tidak pernah bertemu.[1]
Nabi Muhammad SAW sebagai figur utama kehidupan dunia-pun telah memerintahkan untuk selalu menjaga tali persaudaraan antar manusia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya hadis rosul yang mengisyaratkan akan pentingnya hubungan humanis. Dalam makalah ini, penulis bermaksud menghadirkan beberapa hadis yang koheren antara iman dan kehidupan humanistik, dengan menggunakan metode kritis matan hadis.

B.     Iman dan Kehidupan Sosial
Iman dalam konteks sosial-humanis memberi pengertian bahwa iman tidak hanya menyangkup aspek keyakinan beragama yang tertuang dalam rukun iman. Iman juga memberi petunjuk dan tuntutan serta menaruh perhatian besar terhadap realitas kehidupan manusia di dunia. Dengan kata lain, iman yang benar-benar sebagai aspek keyakinan berkorelasi positif dan memberi pengaruh kuat dan signifikan terhadap kualitas kehidupan sosial dan kemanusiaan.
Korelasi anatara iman dan kehidupan bersifat inheren dan integral yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Paradigma ini menyimpulkan bahwa keimanan seseorang muslim tercermin dan dapat diukur dari aktivitas sosialnya sehari-hari. Pribadi yang beriman bukanlah individu yang menjaga jarak dengan lingkungan sosialnya, atau tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya dimana ia berdomisili. Berkaitan dengan hal itu Rasulullah secara ekplisit menjelaskan keterkaitan antara iman dan kehidupan sosial. Diterangkan bahwa iman yang paling tinggi adalah tauhid “la ilah illa Allah”, sedangkan iman yang paling rendah diungkapkan dengan bahasa ”menyingkirkan bahaya rima di jalan”. Padahal iman sendiri mempunyai 63 atau 73 cabang. Berdasarkan logika matematis, terdapat cabang keimanan lain yang berada antara highest  iman dan lowest iman. Terdapat di dalamnya rasa malu, bersikap adil, jujur, dermawan, tolong menolong, menghormati tamu dan sebagainya.[2]
Kemaslahatan sosial merupakan kemaslahatan umum. Tuntutan agama agar kita bersatu, saling menyayangi, melarang kita agar tidak bercerai berai adalah tuntutan yang harus didahulukan daripada hal lainnya. Ketika seseorang dengan keimanannya dapat mengikis pengelompokan, sikap fanatisme, dan sukuisme, ketika cakrawala pandangannya menjadi luas, maka usaha untuk mempersatukan manusia merupakan kewajiban yang paling penting. Dalam hal ini, Syaikh Ibnu Baz mengatakan, “Merupakan hal yang telah dimaklumi bahwasanya urusan setiap hamba tidak akan sempurna, kemaslahatan mereka tidak terorganisir, ide-ide mereka tidak akan padu, kecuali mereka mampu mengusung rasa solidaritas, yang inti ajarannya adalah saling tolong menolong dalam kebaikan, ketaqwaan, kedermawanan, kasih sayang, kejujuran, keteladanan dan sabar terhadap kebenaran tersebut.[3] Hal ini secara jelas dapat dilihat dalam hadis rasul yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dalam Shahih muslim kitab birru al-wasillatu wal adab bab tahrimu dhulma muslim no 4650:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ أُسَامَةَ وَهُوَ ابْنُ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ كُرَيْزٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ دَاوُدَ وَزَادَ وَنَقَصَ وَمِمَّا زَادَ فِيهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَشَارَ بِأَصَابِعِهِ إِلَى صَدْرِهِ
“Jangan saling menghasut, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi, dan janganlah sebagian dari kalian membeli barang-barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka jangan berlaku aniaya kepadanya, jangan menelantarkannya, jangan membohonginya, dan jangan merendahkannya. Takwa itu disini, (beliau mengcapkan hal ini sambil menunjuk ke dadanya dan mengulanginya hingga tiga kali). Cukuplah seseorang dikategorkan jelek apabila dia merendahkan saudaanya sesama muslim. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim adalah haram bagi musim yang lain.”

C.     Simpul Iman-Humanitas
1.      Tolong Menolong
Sebelum lari kepada pembahasan tolong menolong dari persepektif hadis nabi, kami akan mencoba menjelaskan konsep tolong menolong dalam persepektif al-qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama. Dalam al-qur’an dijelaskan bahwa kita dianjurkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan tidak dalam hal keburukan. Sebagimana firman-Nya. Q.S. al-Maidah: 2. 
      
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Dari ayat di atas terlihat jelas bahwa manusia satu dengan manusia yang lainnya itu harus saling tolong menolong tentunya dalam hal kebaikan. Dan hal itu juga berarti Islam sangat memberikan perhatian khusus kepada manusia yang hidup sebagai makhluk tuhan, yang harus menghambakan dirinya kepada Allah swt. Dan juga sebagai makhluk sosial yang harus juga memperhatikan keadaan manusia lain disekitarnya. Dan kami kira masih banyak lagi al-Qur’an yang berbicara tentang konsep tolong menolong sebagai aktualisasi humanitas. Diantaranya; al-Maidah: 80, as-Shafat: 25 dan al-Qashas: 24 dan 77.
Setelah kita lihat beberapa perhatian al-Qur’an terhadap konsep tolong menolong, kini giliran kita melihat konsep tolong menolong dalam hadis nabi sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.
Konsep tolong menolong dalam hadis nabi digambarkan oleh dua hadis dibawah ini yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang intinya berbicara tentang prinsip tolong menolong. Secara teologis, hadis nabi tersebut memberi pengajaran bahwa menolong tidak didasari oleh adanya niat pamrih atau menuntut balasan, baik dari yang ditolong ataupun yang menolong. Menolong haruslah atas dasar “karena Allah” tanpa ada moptivasi ikutan lainnya. Menurut bahasa humanis, “niat karena Allah” itu bermakna atas dasar persamaan kemanusiaan (insaniyyah).[4]
Berikut hadis tentang prinsip tolong menolong:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Yahya ibn bukair telah menceritakan kepada kami al-laisi telah menceritakan kepada kami dari uqail dari ibn syihab bahwasanya salim telah memberitahukannya bahwa abd allah ibn umar telah memberitahukannya bahwa rasulullah saw, telah bersabda, “seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutthannya. Dan barangsiapa melapangkan baginya satu kesulitan dari kesulitan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) di hari kiamat.[5]
Hasil takhrij hadis di atas:
Nama Kitab
Nama Bab
No Hadis
Muslim
Biru Wa Salatu Wa Ladabu
4677
Tirmidzi
Udud Ani Rasulillah
1346
Abu Daud
Adab
4348
Ahmad Ibnu Hambal
Musnad Mukatsirin min Shahabah
5103,5388

Hadis kedua tentang prinsip tolong menolong.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَاه نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ قَالَا حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَخَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ أَبِي أُسَامَةَ لَيْسَ فِيهِ ذِكْرُ التَّيْسِيرِ عَلَى الْمُعْسِرِ
Yahya ibn al-Taimi, Abu Bakr ibn Abi Syihab dan Muhamad ibn A’la al-Hamdani (lafal hadis Dari Yahya), Kata Yahya, Abu Mu’awiyah telah memberitahukan kepada kami (yang lain, “telah menceritakan kapda kami), dari al-‘A’masy dari Abu Salih dari Abu Hurairah, karanya Rasulullah saw. Telah bersabda, “barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan-kesusahan seorang muslim di dunia, Allah akan menghilangkan satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa yang memudahkan orang yang kesulitan, Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah akan menolong seorang hamba selama ia mau menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh suatu jalan yang di dalamnya ia mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Orang-orang tidak berkumpul disuatu rumah dari rumah-rumah Allah di mana mereka membaca kitab Allah (al-Qur’an) dan mempelajarinya melainkan ketenangan akan turun pada mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, malaikat akan mengelilingi mereka, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi-Nya. Dan barangsiapa kurang amalnya, maka ia tidak akan memperoleh kehormatan.[6] 
Kunci dari kedua hadis di atas untuk prinsip tolong menolong adalah kata hajjah, kurbah, dan usr. Ketiga kata tersebut memiliki konotasi arti yang sama, yaitu ketidakmampuan memnuhi kebutuhan. Prinsip tolong menolong untuk mengatasi masalah-masalah di atas (yang masuk kategori hajjah, kurbah dan usr) dapat ditemukan dari kata-kata tafrij, tanfis, taisir, dan aun. Kata taisir bermakna memudahkan, menggampangkan, mencarikan jalan keluar (solusi). Asal maknanya adalah mudah atau gampang yang terambil dari kata yasara-yasiru-yasran wa yusran. Kata ini selalu di pertentangkan kata usr (kesukaran).[7] Sedangakan kata tanfis dan tafrij sama-sama bermakna menghilangkan dan meringankan. Keduanya biasa disandingkan dengan kurbah (kesusahan).[8] Sementara kata ‘aun mengandung pengertian pertolongan dan bantuan.[9] 
Pemahaman secara subjektif terhadap kedua hadis di atas adalah bahwa orang-orang yang “memenuhi kebutuhan”, “meringankan beban”, “menyantuni dikala kesusahan” dan “menolong bagi yang memerlukan” akan mendapatkan balasan yang setimpal dan serupa dari Allah swt. Tetapi bila dipahami secara objektif, kedua hadis tersebut menginspirasikan dan memotivasi setiap orang untuk menolong sesamanya. Karena orang yang suka memberi, pada dasarnya ia telah menanamkan kebaikan dan berinventasi untuk masa yang akan datang. Kalau ini menjadi prinsip dalam hubungan sosial, berarti dapat memberi harapan bagi terhapusnya kemiskinan, pemberantasan kebodohan, terkejarnya ketertinggalan, terciptanya stabilitas politik, meningkatnya pertumbuhan ekonomi, terjaminnya keamanan, dan lain-lain.[10]

2.    Kedermawanan
Kedermawanan merupakan wujud kepedulian manusia sebagai makhluk sosial. Sikap ini dapat berarti sebagai wujud sukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Pada hakikatnya, apa saja yang kita dermakan itu tak lain manfaatnya akan memandang bahwa orang yang dermawan merupakan orang yang berada posisi terhormat. Orang yang di beripun menjadi lebih semangantdalam menjalani hidup karena merasa ia hidup tidak sendiri. Disinilah posisi penting kedermawanan. Manusia diciptakan berbeda-beda satu sama lain. Penulis berpendapat bahwa karena perbedaan itulah manusia dituntut untuk saling perhatian, yang salah satu caranya dapat termanifestasi dalam konsep ini. Berikut ini adalah hadis yang mengisyaratkan untuk bersikap dermawan.
Shahih Bukhari bab al ghibah wa fadhluha no. 2402:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ عَنْ أَسْمَاءَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنْفِقِي وَلَا تُحْصِي فَيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَلَا تُوعِي فَيُوعِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ

“Bersedekahlah, dan janganlah engkau menghitung-hitung, sebab Allah menghitung atas engkau, dan janganlah engkau mengumpulkan (tanpa zakat), sebab Allah akan mengumpulkan atas engkau.” [11]
Hadis ini setidaknya terdapat pada 13 tempat dalam kitab primer. Berikut hasil Hasil takhrij dari hadis tersebut:
Nama kitab
Nama Bab
No Hadis
Shahih Muslim
zakat
1708, 1709, 1710
Sunan Tirmidzi
Al birru wa ashilatu an Rasulillah
1883
Sunan an-Nasa’i
zakat
2504
Musnad Abu Dawud
zakat
1448
Musnad Imam Ahmad
Baqi musnad al-Anshor
23930, 25676, 25685, 25697, 25731, 25741, 25748


Adapun asbabul wurud dari hadis di atas sebagaimana diterangkan dalam Shahih Bukhari dari Asma’, katanya: “aku berkata wahai Rasulullah,  tiada aku memiliki harta apapun, kecuali yang diberikan oleh Zubair (suamiku) kepadaku. Maka apakah masih harus aku bersedekah? Beliau menjawab: ““Bersedekahlah, dan janganlah engkau menghitung-hitung, sebab Allah menghitung atas engkau, dan janganlah engkau mengumpulkan (tanpa zakat), sebab Allah akan mengumpulkan atas engkau.”
Melihat hadis ini, betapa pentingnya sedekah itu. Seberapa besar barang yang disedekahkan, bukanlah menjadi ukuran suatu pahala. Hadis ini juga menyatakan larangan memberikan sesuatu di jalan Allah dengan harapan memperoleh balasan yang lebih banyak dari manusia dan menghitung-hitung pahala yang akan diperoleh.[12] Pada hakikatnya segala harta yang kita sedekahkan, tak lain akan kembali pada kita sendiri, sebagaimana firman Allah:
 
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).[13]
Bercermin pada firman Allah ini, sungguh suatu keniscayaan bagi seseorang yang tidak menfkahkan sebagian harta yang dimiliki kepada saudara sesama muslim. Secara jelas diterangkan bahwa terdapat hak orang lain dalam setiap harta yang dimiliki seseorang. Diriwayatkan pula dalam hadis lain, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ هَمَّامٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرُ بْنُ رَاشِدٍ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَخِي وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ لِي أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينُ اللَّهِ مَلْأَى لَا يَغِيضُهَا سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُذْ خَلَقَ السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ فَإِنَّهُ لَمْ يَغِضْ مَا فِي يَمِينِهِ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ وَبِيَدِهِ الْأُخْرَى الْقَبْضَ يَرْفَعُ وَيَخْفِضُ
Hadis Qudsi ini secara jelas mengisyaratkan bahwa barang siapa menafakahkan sebagian hartanya, sesungguhnya Allah akan menganugerahinya rezeki. Kemurahan atau kedermawanan adalah tanda suburnya iman, mantapnya kepercayaan serta dalamnya rasa dan penghayatan sosial maupun psikologis.[14]
3.      Kasih Sayang
Sudah sewajarnya bagi seorang manusia untuk saling menyayangi dalam kehidupan di dunia ini. Keharmonisan, kebahagiaan, dan ketenangan hidup menjadi imbalan jika konsep ini dapat teraplikasikan dalam skenario kehidupan Illahi. Sebuah konsep islami yang secara moral maupun sosial dapat memperkuat ukhuwah basyariah. Adapun wujud cinta kasih yang secara tulus dapat dilihat dalam hubungan anak dan orang tua. Setiap anak yang keluar dari alam rahim,, secara natural ia mempunyai rasa kasih sayang kepada orang tuanya. Perasaan seperti inilah yanng perlu ditimbulkan dan diaplikasikan dalam hidup.
Islampun juga mengajarkan bahwa manusia diciptakan untuk saling menyayangi. Lebih lanjut, rosulullah sebagai figure sentral dalam masalah akhlak mempunyai rasa kasih sayang yang begitu besar, baik kepada sesama manusia maupun makhluk Allah lainnya. Ungkapan dan ekspresi kasih sayang adakalanya nampak formal dan adakalanya tidak terlihat (abstrak), karena kasih sayang adalah cerminan dan refleksi hati. Berikut hadis Nabi yang menunjukkan keurgenitasan sebuah kasih sayang terhadap kereligiusan jiwa seorang mukmin.
Shahih Bukhari kitab iman bab hubbul rosul minal iman no 14
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman seseoang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Adapun sababul wurud dari hadis di atas adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Tabrani dari Abu Warid al-Qursyi: “Aku berada di samping Bilal ibnu Burdah, maka seorang laki-laki dari Abdul Qais datang dan berkata: “Semoga Allah memberi kemaslahatan kepada amirul mukminin, sesungguhnya penduduk Thif tidak menunaikan zakat mereka dan sungguh aku mengetahui hal itu. Maka aku sampaikan kepada Amir. Bilal bertanya: “Engkau berasal dariman?”. “Saya berasal dari Qais”, jawabnya. “Siapa namamu?”. “Fulan, jawabnya. Maka Bilal menulis kepada polisi untuk menanyakan tentang Abdul Qais. Polisi menjelaskan: “Aku menjumpainya bekerja di bidang pengawasan. Bilal berkata: “Allahu Akbar, ayahku menceritakan kepadaku dari kakekku Abu Musa (al-Asy’ari) dari Rosulullah SAW: Tidak sempurna iman seseoang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hadis ini menunjukkan bahwa mencuntai orang mukmin dan kehendak berbuat baik kepada mereka adalah tanda keimanan.[15]

Hasil takhrij hadis di atas.

Nama kitab
Nama bab
No hadis
Shahih Muslim
Iman
62,63
Sunan an-nasa’i
Iman wa syaroihi
4927,4928 
Sunan ibnu majah
Muqadimh
66
Ahmad bin hambal
baqi musnad mukasirin
12338,12671.13402,13449    
Ad-dzarimi
Riqaq
2624

Apabila sikap kasih sayang ini sudah melekat dalam jiwa seseorang, maka dia akan berusaha membantu bagaimana membuat orang merasa nyaman dalam menjalankan aktvitasnya setiap hari. Idealitas kasih sayang yang diajarkan rosul adalah bahwa ukuran kasih sayang yang semestinya diberikan oleh makhluk Allah yaitu seperti kasih sayang terhadap dirinya sendiri. Sebesar apa kasih sayang kita pada diri sendiri, sebesar itu pula kasih sayang yang dicurahkan pada orang lain. Sebaliknya jika kasih sayang pada diri sendiri tidak berbanding lurus dengan kasih sayang pada orang lain, Rasulullah menilainya dengan sebutan “tidak beriman”.[16]Dengan adanya rasa kasih sayang diantara manusia, kehidupan yang harmonis, saling memahami dan menghormati, niscaya bukanlah menjadi suatu mimpi belaka.

D. Kesimpulan
Iman meurpakan hal yang urgen, karena berkaitan langsung dengan Sang Khaliq. Namun, hal itu bukan berarti ruang lingkup iman hanya pada ranah teologis saja, tetapi di sisi lain iman harus di aktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat atau kehidupan sosial (humanitas).
Simpul iman seperti tolong menolong, kasih sayang sesama manusia dan kedermawanan merupakan bentuk aktualisasi iman dalam kehidupan sosial. Dan apabila orang yang beriman mengaktualisasikan keimanannya dalam bentuk simpul iman di atas, maka akan tercipta solidaritas dan kemaslahatan umat. Apabila itu semua teraktualisasi, maka tidak ada satu pun umat Islam yang kesusahan dan kesulitan dalam menghadapi hidupnya. Tidak ada umat Islam yang kecewa akan agamanya sendiri, yang kemudian diikuti dengan berpindah keyakinan kepada agama lain. Karena merasa agama Islam dan penganutnya kurang memberikan perhatian [tolong menolong, kasih sayang dan kedermawanan]  yang khusus kepadanya.

Dengan demikian aktualisasi iman dalam bentuk tindakan itu sangat penting, karena aktualisasi tersebut dapat menambah tingkatan iman seseorang dalam ranah teologi [kaitannya dengan Sang khaliq].

      Pada akhirnya, penulis menyadari bahwa apa yang dihasilkan ini, masih sangatlah  jauh dari kesempurnaan dan simpul iman yang kami sajikan masih sangat minim dari apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis nabi. Oleh karena itu, kritik dan saran dari Bapak Dosen sangat penulis harapkan demi perbaikan ke depan.



Daftar Pustaka


 A. Majid Hasim, Husaini.  Syarah riyadhush Shalihin, terj.Muammal Hamidi, Surabaya: PT Bina Ilmu,1993.
Al Hanafi Ad Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al Husaini.  Asbabul Wurud jilid II, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Azim, Said Abdul. Ukhuwah Imaniyah, terj. Misbahul Khoir. Jakarta: Qisthi Press. 2005.
Warson Munawir, Ahmad. Kamus Al-Munawir. Yogyakarta: Pustaka Progresif. 1997.
Yusup, Muhamad. Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis. Yogyakarta: Sukses Offset:  2008.



[1] Muhamad Yusup, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Sukses Offset: Yogyakarta, 2008), hlm.4.
[2]Muhamad Yusup, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, hlm. 53-55.
[3] Said Abdul Azim, Ukhuwah Imaniyah, terj. Misbahul Khoir (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hlm. 11-12.

[4] Muhamad Yusup, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, hlm. 57.

[5] Al-Bukhari.2262.
[6] Muslim 4867, Al-Tarmidzi 1345, 1851, 2570, 2869, Abu Dawud 1243, 4295, Ibn Majah 221, Ahmad bin Hambal 7118, 7601,10091,10260, Al-Darimi 348. 
[7] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, (t.p.: Yogyakarta: ), hlm.1698
[8] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, hlm.1544.
[9], Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, hlm.1061.
[10] Muhamad Yusup, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, hlm. 59-62.
[11] Shohih Bukhori bab al ghibah wa fadhluha: 2402
[12]  Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud jilid II, ((Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 204.
[13] Q.S. al-Baqarah: 272
[14] Husaini A. Majid Hasim, Syarah riyadhush Shalihin, terj.Muammal Hamidi, (Surabaya: PT Bina Ilmu,1993), hlm. 357.
[15] ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi Ad Damsyiqi, Asbabul Wurud jilid III, hlm. 462. 
[16] M. Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, hlm. 87-91.

KORELASI AJARAN AGAMA AGAMA


A.  PENDAHULUAN
Agama merupakan suatu kekuatan besar yang mempunyai pengaruh cukup tinggi dalam perkembangan peradaban dunia. Agama telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dalam diri manusia, dari zaman ke zaman. Hal ini adalah pendapat yang logis oleh karena dari segi antropologis, sosiologis, dan kultural, agama tidak ada tanpa masyarakat. Fenomena ini berdampak pada minat yang begitu besar terhadap ilmu-ilmu yang bernafaskan agama. Dalam usaha penelitian agama, benar atau salah bukanlah menjadi tujuan pokok dari aktivitas tersebut.
Agama dalam batas tertentu dapat dianggap sebagai akumulasi pengalaman manusia dalam perjumpaan dan keberhadapannya dengan suatu relitas yang diyakini menguasai dan menentukan nasibnya. Dalam istilah ilmu agama, realitas tadi bisa disebut dengan  Ultimate Reality, atau Realitas Mutlak. Pengalaman manusia dalam beragama tadi mengekspresikan diri dalam tiga bentuk atau sifat: teoritis atau pemikiran, praktis atau perbuatan, dan sosiologi atau kelompok. Dalam setiap agama tentu dapat ditemukan adanya tiga macam bentuk ekspresi atau ungkpan pengalaman keagamaan tadi. Pertama, membentuk pemikiran keagamaan; kedua, perbuatan keagamaan; ketiga, terwujud dalam berbagai bentuk masyarakat keagamaan.[1]
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap hal mempunyai persamaan sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya. Begitu pula dengan agama yang ada di masyarakat. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan menyebutnya dengan istilah yang sama, yaitu “agama”. Bila tidak ada perbedaan, kita juga tidak akan menyebutnya dengan majemuk, “agama-agama”.[2] Secara umum pula, dapat dikatakan bahwa dalam ajaran hampir seluruh agama seseorang dapat menemukan dasar yang bersifat eksklusif dan inklusif. Sangat sering, karena alasan psikologis, dasar yang bersifat ekslusif lebih populer dan dikenal secara baik daripada yang inklusif. Inilah alasan mengapa para ahli teologi yang telah mempelajari secara mendalam hingga akar agama, cenderung berpikiran terbuka daripada mereka yang tidak mempelajari secara mendalam. Jadi, setiap agama sudah sewajarnya melakukan usaha keras untuk dapat berbuat adil terhadap dasar inklusif dari ajaran masing-masing agama, demi terciptanya kehidupan yang harmonis.[3]
Kepelbagian nilai keagamaan yang pernah dihayati manusia sepanjang zaman itu senantiasa mamiliki dasar-dasar yang mengandung persamaan-persamaan elemen yaitu perasaan takut, khawatir, cinta dan percaya kepada Yang Maha Ghaib.[4] Dalam makalah ini, penulis bermaksud menghadirkan beberapa ajaran yang sama dalam beberapa agama. Pada dasarnya, semua agama di dunia ini mempunyai tujuan yang sama, hanya saja terdapat perbedaan dalam dataran kaifiyat dan teologinya.[5]

B.  PRINSIP KETUHANAN
“Satu Tuhan, banyak Agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang, sesudah sejarah tercatat manusia berlangsung kurang lebih sejak enam ribu tahun lalu. Manusia sekarang didorong menuju kesadaran bahwa pluralisme memang sungguh-sungguh merupakan fitrah kehidupan manusia. Kepelbagaian agama merupakan fakta dan hukum Tuhan yang tidak dapat ditolak, dan dalam kepelbagaian itulah manusia harus hidup bersama dan berhubungan satu sama lain. Dalam konteks pluralisme semacam itu, klaim-klaim kebenaran (truth claim) hanya relevan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat internal.[6] Berbicara mengenai konsep ketuhanan, berikut akan penulis hadirkan bahwa sesungguhnya masing-masing agama mempunyai paham yang sama akan ketuhanan, yaitu adanya sebuah kekuatan yang maha dahsyat di alam semesta ini.

1.      Agama Islam
Menurut Islam, semua agama yang dibawa oleh oleh para nabi mengajarkan prinsip-prinsip dasar yang sama. Semua nabi dan rosul menyeru dan mengajak manusia untuk hanya patuh dan menyembah pada Tuhan yang Satu, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Ajaran tentang keesaan Tuhan (tauhid) dan kepatuhan kepada-Nya diyakini sebagai dua buah prinsip utama semua agama yang berasal dari Tuhan. Hukum-hukum agama bisa saja berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi dan keperluan masyarakat penerima agama.[7] “Tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah SWT”. Begitulah kalimat yang menunjukkan bahwa Tuhan itu hanya satu. Tiada sekutu bagi-Nya. Lebih jelas lagi tertera dalam surat al-Ikhlas:

1.  Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2.  Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4.  Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."[8]

2.      Agama Yahudi
Agama Yahudi terkenal sebagai agama monotheisme absolut (tauhid) yang meletakkan dasar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada tempat yang pertama. Setiap orang Yahudi yang akan mengerjakan suatu pekerjaan, harus lebih dahulu mengucapkan “Shemah”, yaitu ucapan sebagai berikut: “ Dengarkanlah, hai bangsa Israel, Tuhan kita yang kita sembah adalah Maha Esa”. Pernyataan ini termaktub dalam Ten Commandments agama Yahudi ini.
Musa datang dengan membawa agama yang memberantas konsepsi ketuhanan dari bangsa-bangsa Babilonia, Mesir, Asiria, dan Medeterania dan lainnya, yang pada masa itu mempertuhankan benda serta kekuatan alam semesta. Beliau menggantikannya dengan konsepsi Tuhan yang monotheistis. Didalam kitab perjanjian lama berkali-kali ditegaskan bahwa Tuhan itu hanya satu yaitu Yahweh, yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir.[9]

3.      Agama Nasrani
Berbicara falsafah ketuhanan agama nashrani, maka pembahasannya tak lepas dari falsafah TRINITAS, yaitu adanya “Tiga Oknum Ketuhanan”, Tuhan Bapa, Roh Kudus, dan Yesus Kristus. Ketiganya merupakan kesatuan sebagai satu kebenaran yang Esa. Menurut rumusan Nashrani, filsafat ketuhanan yang demikian itu tidak boleh disebut polytheisme, tetapi harus dikatakan monotheisme, sebab oknum kedua dan ketiga adalah bagian dari oknum pertama.[10] Ketiga-tiganya adalah pribadi Allah dan ketiga pribadi tersebut adalah Allah. Semuanya Mahakudus, Maha Sempurna, Maha Kuasa, dan Maha Kekal. Masing-masing memiliki satu pengetahuan Illahi, satu Kehendak Illahi, satu kehidupan Illahi, sehingga disebut dengan Tritunggal Yang Maha Kudus.[11] Dengan istilah lain, Ketiganya adalah dalam ke-Esa-an, atau ke-Esa-annya dalam ketigaannya.

4.      Agama Budha
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal. Namun, budha juga mengakui bahwa ada sesuatu yang kekal. Berikut ini dalilnya:
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta,  Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu[12]
 Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak  Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa  aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi  dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

5.      Agama Hindu
Agama Hindu sering kali dianggap sebagai agama politheis. Namun, apabila diteliti lebih lanjut akan kelihatan bahwa dalam salah satu ajaran Hindu juga mempercayai bahwa ada satu kekuatan yang transenden, Tuhan yang Satu; tidak ada duanya. Ungkapan Monotheisme murni dapat dilihat terutama dalam pengalaman cinta pada Tuhan secara konkret dan mendalam (bhakti). Bhakti Hindu berarti cinta dan penyerahan pada Tuhan, itu berarti Tuhan dibayangkan sebagai Pribadi Maha Tinggi. Beberapa gambaran berikut akan memperlihatkan dengan lebih jelas monotheisme agama bhakti:

Kabir:
   “Tuhan adalah satu; tidak ada duanya. Di surga, di dunia bawah, dalam bumi dan air, Rama yang melihat semuanya.” Sudah mati Brahma, Vishnu, Mahesa; sudah mati Ganesha, putra Parvati, sudah mati Bulan, Matahari, Dewa Ular. Hanuman, yang membangun jembatan, sudah mati. Sudah mati Krishna, sudah mati si Pembuat. Hanya satu yang tidak mati—Sang Pencipta. Kabir berkata, hanya Dia-yang tak terikat oleh kedatangan dan kepergian-yang tidak mati. (Bijak, Sabda 45)
Manikkavacakar:
“Ada yang Transenden! Penguasa dari semua yang tinggi di istana surgawi Yang abadi. Terpujilah! Pemberi rahmat segala untukku,...Terpujilah! Engkau yang tiada bercela, yang membuat diriku, orang yang terbuang ini menjadi milikmu. Anggapan bahwa ada dewa lain dari pada Engkau, yang satu-satunya, tak akan dipeluk oleh jiwaku!”

Dengan banyaknya pecinta Tuhan dalam Hindu, jelaslah motivasi utama monotheisme mereka lebih bersifat religius daripada filosofis dan lebih didasarkan pada pengalaman religius yang khusyuk daripada akal murni, meskipun akal digunakan juga untuk membenarkan pengalaman mereka. Monotheisme Hindu ini memang cukup berbeda dengan monotheisme Yahudi maupun Islam, sebab monotheisme agama ini menekankan pada “kesadaran akan Tuhan” sebagai ciri khas sifatnya.[13]

Menyikapi permasalahan Ketuhanan ini, penulis merasa bahwa pada dasarnya setiap agama memiliki keyakinan bahwa dalam kehidupan ini terdapat konsep dasar Ke-Esa-an Tuhan, terlepas bagaimana corak masing-masing agama dalam mewujudkan Tuhan itu sendiri. Hal ini termasuk dalam kawasan Theologi, sehingga kita sebagai manusia tentu harus mengimani konsep Ke-Esa-an Tuhan sesuai ajaran masing-masing agama yang dipeluk, karena hal ini adalah hak setiap manusia yang tidak bisa dipaksakan. Setidaknya dari urain penulis, terdapat kesamaan konsep Ke-Esa-an Tuhan. 

C.  PRINSIP CINTA KASIH
Prinsip cinta kasih dalam agama-agama terlihat cukup dominan. Hal ini tak lepas akan kesadaran para pemeluk agama akan pentingnya sebuah kehidupan yang akrab dan harmonis di antara manusia. Perlu digaris bawahi bahwa kehidupan yang harmonis tak dapat terwujud tanpa disertai dan dilandasi rasa kasih sayang. Berikut beberapa ajaran tentang kasih sayang di masing-masing agama.

1.      Agama Islam
Dalam hubungan sosial kepada setiap makhluk Allah, termasuk hewan, tumbuhan, dan lingkungan serta manusia pada umumnya, prinsip kasih sayang sangat perlu dan mutlak sifatnya. Banyak sekali ayat al-Qur’an dan hadis nabi yang menunjukkan anjuran untuk perilaku kasih sayang ini.[14] Dalam salah satu hadis nabi disebutkan bahwa: “Barang siapa tidak menyayangi manusia, niscaya Allah tidak menyayanginya (HR. Bukhari). Ungkapan dan ekspresi kasih sayang adakalanya nampak formal dan adakalanya tidak terlihat (abstrak), karena kasih sayang adalah cerminan dan refleksi hati.

Apabila sikap kasih sayang ini sudah melekat dalam jiwa seseorang, maka dia akan berusaha membantu bagaimana membuat orang merasa nyaman dalam menjalankan aktvitasnya setiap hari. Idealitas kasih sayang yang diajarkan rosul adalah bahwa ukuran kasih sayang yang semestinya diberikan oleh makhluk Allah yaitu seperti kasih sayang terhadap dirinya sendiri. Sebesar apa kasih sayang kita pada diri sendiri, sebesar itu pula kasih sayang yang dicurahkan pada orang lain. Sebaliknya jika kasih sayang pada diri sendiri tidak berbanding lurus dengan kasih sayang pada orang lain, Rasulullah menilainya dengan sebutan “tidak beriman”.[15]        

2.      Agama Yahudi
Ajaran cinta kasih dalam agama ini tak lepas dari nama agama ini sendiri. Menurut ibnu Katsir, kata yahuud berasal dari kata al-hawadah yang berarti cinta kasih. Kemudian dalam ajaran yahudi sendiri, cinta kasih menempati posisi yang penting. Bagi mereka, mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri adalah salah satu bentuk kebenaran. Menurut mereka pula, tidak ada orang Yahudi yang dapat disebut cinta Tuhan, kalau tidak ada diantara mereka berpegang teguh pada kebenaran yang salah satu bentuk kebenaran tersebut adalah pengaplikasian cinta. Seseorang belum dapat dikatakan cinta Tuhan sebelum ia mencintai orang lain dan tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.[16]

3.      Agama Nashrani
Agama Nashrani dikenal dengan prinsip kasih sayangnya yang begitu besar. Prinsip kasih sayang dikenal sebagi inti ajarannya, yang merupakan penekanan ajaran terhadap moral susila yang bersumber pada rasa kasih sayang sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh nabi Isa sendiri.[17] Dalam hubungan dengan ajaran tersebut, agama Nashrani mengajarkan bahwa Tuhan adalah sebagai Tokoh ke-Bapakan yang cinta kasih terhadap hambanya. Dengan kata lain, prinsip kemanusiaan menjadi sumber ajaran dimana perasaan cinta kasih menjadi dasar pokoknya. Perikemanusiaan yang memancar dari cinta kasih ini meliputi dan meluas ke dalam sikap hidup antara sesama manusia dan sikap hidup dalam hubungannya antara manusia dengan Allah. Perasaan cinta kasih Yesus menyebabka dirinya rela mati di atas tiang salib sebagai penebus dosa manusia. Berikut ini ajaran Yesus tentang sifat dan sikap luhur yang termaktub dalam kitab injil mengenai prinsip cinta kasih:
            a. Cintailah tetanggamu sebagai kamu mencintai dirimu sendiri.
b.      Saint Paul berkata: Cinta adalah kesabaran dan keramahan, cinta bukan iri hati atau kemarahan, ia bukan suatu kekasaran…ia tidak menyambut gembira akan sesuatu yang salah, ia menyambut gembira sesuatu yang benar. Cinta membuahkan segala sesuatu, mempercayai sesuatu, mengharap-harap segala sesuatu, bertahan terhadap segala sesuatu, cinta tak pernah berakhir (I. Cor. 13: 4-8).[18]    

4.      Agama Budha
Dalam ajaran agama Budha, konsep tentang cinta kasih secara eksplisit terlihat dalam dasadharma. Dan jika diteliti secara mendalam Terbukti dalam Nikaya Pali, yaitu: Dhammapada ada satu bab yang diberi judul: Piya Vagga yang berarti kecintaan. Begitu pula dalam Majjhima Nikaya terdapat sutta yang berjudul Piyajatika Sutta, yang merupakan khotbah tentang orang-orang tercinta.
Dalam Bahasa Pali juga ditemukan beberapa istilah cinta, seperti: piya, pema, rati, kama, tanha (jawa trenso), ruci, dan sneha yang memiliki arti: rasa sayang, kesenangan, cinta kasih sayang, kesukaan, nafsu indera (birahi), kemelekatan, dsb, yang terjalin antara dua insan berbeda jenis atau cinta dalam lingkup keluarga.
            Adanya larangan membunuh membuktikan bahwa manusia harus mempunyai rasa kasih say
ang terhadap sesama. Buddha pernah menyatakan:
Lokopathambhika Metta”, yang artinya adalah sebagai berikut.
Hanya dengan cinta kasihlah yang dapat  menyelamatkan dunia ini.
Dalam menyelesaikan ketegangan, pertengkaran, dan kesulitan-kesulitan rumah tangga, bila seorang ayah hanya menggunakan kekuasaannya sebagai kepala rumah tangga; atau dengan berpendirian bahwa bila saya memiliki materi yang lebih banyak pasti semuanya bisa selesai; atau juga dengan menggunakan kekerasan supaya semuanya diam ketakutan; maka keharmonisan tidak mungkin bisa dicapai. Tetapi, bila sang ayah, ibu, dan anak-anak saling mempunyai rasa cinta yang tulus, ketentraman dan kedamaian pasti bisa tumbuh dalam keluarga, untuk dinikmati bersama. Juga dalam menghadapi problem yang lebih besar. Bila materi, kekuatan atau kekerasan diandalkan sebagai kunci untuk menyelesaikannya, maka problem tidak akan selesai dengan baik.
Tanpa adanya dasar cinta kasih, kecerdasan yang dimiliki seseorang bisa digunakan untuk menghancurkan kehidupan ini. Tanpa adanya dasar cinta kasih kepandaian bisa menjadi kejahatan dan kekejaman yang luar biasa. Tanpa adanya cinta kasih, ilmu pengetahuan bisa menjelma menjadi penghancur nilai-nilai kemanusiaan.[19]

5.      Agama Hindu
Berbicara soal cinta kasih dalam agama hindu, kita dapat melihatnya pada ajaran yoga, tepatnya pada Bhakti Yoga (cara mencapai kelepasan dengan jalan cinta kasih). Ajaran ini secara jelas bahwa dengan berbekal cinta kasih, manusia dapat mencapai kelepasan dari kehidupan duniawi. Cinta kasih menduduki posisi cukup penting dalam proses menuju kelepasan. Ungkapan cinta kasih akan Tuhan merupakan sikap dan perasaan religius yang khas dengan ciri-ciri hakikinya, yakni kepercayaan, kecintaan, dan penyerahan penuh kepada Tuhan. Inilah partisipasi afektif dari jiwa dalam kodrat Illahi; suatu cinta yang begitu pekat kepada Tuhan. Dalam Svetasvatara Upanishad dinyatakan bahwa hanya dia yang mencintai Tuhan secara paling utama yang dapat memahami ajaran rohani yang terdapat di dalamnya. Di dalam Bhagavadgita-lah cinta Tuhan diajarkan secara gamblang sebagai jalan keselamatan.[20]

D.    KONSEP KESELAMATAN
Dapat ditemukan bahwa pada semua agama yang ada selalu mengajarkan prinsip keselamatan bagi para pemeluknya. Semua ajaran yang ada tak lain untuk mencapai keselamatan baik di kehidupan di dunia maupun setelahnya.  Berikut akan penulis paparkan beberapa ajaran yang mengandung konsep keselamatan pada masing-masing agama.

1.      Agama Islam
Dalam Islam secara jelas manusia adalah yang paling luhur dari semua ciptaan. Semua orang lahir sebagai seorang muslim; orang tuanyalah barang kali yang membuatnya lain. Guna memperoleh keselamatan hidup, manusia diharuskan untuk melakukan beberapa perintah dan menjauhi beberapa larangan. Muslim hendaknya melaksanakan imannya dengan menjalankan pujaan (sholat, puasa, zakat, dll) dengan memperhatikan kaum miskin.

Gagasan dosa dalam islam terjadi apabila seorang muslim melanggar larangan yang telah diajarkan oleh agama. Menurut teolog muslim, kegagalan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah digariskan itu mengakibatkan sikap yang keliru kepada Allah yang sangat berbahaya karena mengantar orang kepada sikap tidak beragama dan adzab Illahi. Allah-lah pemegang otoritas tunggal pemberi keselamatan. Allah dipandang sebagai penyelamat orang yang Ia kehendaki. Oleh karena itu, tak ada jalan lain bagi manusia apabia mengiginkan keselamatan, mintalah kepada Allah melalui pelaksanaan ajaran-ajaran-Nya dan juga ikhtiar pribadi untuk memperoleh keselamatan di dunia maupun di akhirat.[21]      

2.        Agama Hindu
Key word untuk keselamatan adalah moksha atau mukti. Kata tersebut memuat makna ketenangan, rasa aman, kepenuhan, dan kebahagiaan. Istilah-istilah yang mereka gunakan untuk mengungkapkan tempat dari mana mereka mencapai keselamatan adalah seperti berikut. Karma berarti tindakan baik yang bersifat ritual atau yang lainnya dan menunjuk pada hukum tindakan secara umum.
Jalan rohani untuk menuju keselamatan ditentukan oleh kodrat perbuatan. Agar memperoleh keselamatan, cara yang semestinya dilakukan adalah dengan berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat. Untuk menentang hasrat, caranya dengan mengawasi dan menakhlukkan nafsu seseorang, mengarahkannya pada aktivitas yang tanpa pamrih lewat praktik-praktik askesis dan membersihkan serta mengatasi semua hasrat dengan cinta yang mantap terarah pada Tuhan. Sacara ringkas, cara untuk mencapai keselamatan adalah dengan melaksanakan filsafat Yoga. [22]
   Bagi kaum Teis Hindu, keselamatan berarti perwujudan akhir dari ketergantungan total jati diri individu kepada Tuhan dalam persekutuan cinta, penyerahan diri. Hal ini memberikan jiwa kebahagiaan yang terkhir. Jati diri individual tidaklah kehilangan individualitasnya, melainkan dipersatukan dengan Tuhan setelah dibebaskan dari kelahiran kembali.[23]
3.      Agama Buddha
Keselamatan dalam agama ini berarti terbebas dari jahatnya kedukaan dan tercapainya nivana. Langkah pertama yang dilakukan untuk memeperoleh keselamatan adalah dengan mengakui bahwa ia berlindung di dalam Buddha, Dhamma (ajaran), dan Sangha (aturan). Lebih lanjut, dengan pengamalan delapan jalan kebenaran, seseorang baru akan mendapat sebuah keselamatan. Seseorang harus berusaha agar tidak masuk dalam kelahiran kembali, tapi masuk ke nirvana. Kalaupun tidak, agar seseorang dapat terlahir kembali dalam keadaan baik. Itulah konsep keselamatan dalam Buddhism.[24]
4.        Agama Yahudi
Yahudi senantiasa memberikan kesaksian akan kepercayaan bahwa urusan utama mereka adalah memberi perhatian yang mendalam untuk berharap dan bekerja demi kerajaan yang akan datang; yakni dengan bertindak dan hidup menurut jalan Allah menuju keselamatan. Apapun yang diperintahkan oleh Allah akan segera diikuti dan dilaksanakan sebagai kehendak Allah untuk memajukan kehendak-Nya dan dengan demikian memberikan keselamatan serta kebahagiaan individual. Dalam hal dosa, semua manusia berdosa menurut tingkat-tingkatnya masing-masing. Taubatan yang benar-benar dapat menjadi senjata ampuh untuk mengampuni perbuatan dosa yang telah dilakukan.[25]
5.        Agama Nashrani
Pengakuan dosa (absolusi) adalah sakramen yang perlu diulang-ulang. Gereja mengajarakan bahwa seseorang akan diampuni jika ia mengakui dosannya kepada Tuhan dengan disaksikan oleh salah satu dari utusNya di muka bumi ini, yaitu seorang pastur. Orang tersebut harus benar-benar bertobat dari dosa yang telah dilakukannya dan secara jujur memutuskan untuk tidak  melakukannya di masa yang akan datang.[26]
Keselamatan manusia menurut iman kristiani teretak dalam persatuan mesra dengan Allah sendiri. Oleh karena itu Allah sebagai keselamatan bagi manusia disebut keselamatan tak tercipta (gratia increata). Berpadanan dengan itu juga ada keselamatan tercipta (gratia creata), yaitu nilai-nilai seperti kesehatan, hidup sesudah mati, rasa bahagia, dan lain sebagainya.[27]
E.     PENUTUP
Keanekaragaman agama dalam kehidupan dunia ini tak dapat ditentang oleh siapapun. Perbedaan merupakan skenario kehidupan dari Tuhan yang tak seorangpun dapat menggantinya. Namun, ketika ada perbedaan, pastilah ada sebuah persamaan. Inilah kiranya hal yang tersaa penting dalam kehidupan. Dengan adanya kesadaran akan kepluralitasan agama ini, keharmonisan diharapkan dapat terwujud. Sebuah kehidupan yang aman tentram dalam masyarakat yang plural.
Pada dasarnya semua agama yang ada selalu mengajarkan ha-hal yang mendukung kebahagian bagi manusia, walau ada perbedaan dalam tata cara mendapatkannya. Dengan makalah ini, penulis mencoba menghadirkan beberapa persamaan ajaran yang terdapat dalam agama-agama, dengan harapan kita akan saling menghargai keberadaan agama sebagai suatu sistem kepercayaan bagi manusia. Biarlah perbedaan menjadi urusan masing-masing agama.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam makalah ini. Makalah yang dibuat dalam proses pembelajaran yang masih butuh waktu untuk mencapai kesempurnaan. Muncul dalam benak penulis bahwa memang tiada gading yang tak retak. Dan karena keretakan itulah penulis mengharap bimbingan dan koreksi dari Ibu Dosen Pengampu dan para pembaca demi perbaikan dalam pembuatan makalah berikutnya.


[1] (ed) Djam’annuri, Agama Kita, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 4.
[2] Fritzjof Shuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj. Safrudin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. ix.
[3] Franz Magniz Suseno (dkk), Memahami Hubungan antar Agama, (Yogyakarta: Elsaq PRESS, 2007), hlm. 30.
[4] H.M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, (Jakarta: Golden Terayon Press,1997), hlm. 8.
[5] Mengutip keterangan Dr. Syafa’atun al-Mirzanah dalam kuliah Sejarah Agama-Agama tafsir hadis khusus.
[6]  (ed) Djam’annuri, Agama Kita, hlm. 8.
[7] (ed) Djam’annuri, Agama Kita, hlm. 119.
[8] Q.S. Al-Ikhlas: 1-4, Microsoft word 2007.
[9]  H.M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, hlm. 123.
[10]  M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, hlm. 143.
[11]  (ed) Djam’annuri, Agama Kita, hlm. 81.
[12] Sutta Pitaka, Udana VIII : 3.
[13] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 126-127.
[14] M. Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), hlm. 76.
[15] M. Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, hlm. 87-91.
[16] Burhanuddin Daya, Agama Yahudi, (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), hlm. 226.
[17] M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, hlm. 134.
[18] M. Arifin, Menguak Misteri Agama-Agama Besar, hlm.  138-139.
[19] Diakses dalam. www.iloveblue.com jam 14.31, dengan menggunakan sumber KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 3; Sri Paññavaro Thera
[20] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 306.
[21]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 313-314.
[22]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 301.
[23]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 308.
[24]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 309-312.
[25]  Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, hlm. 314-315.
[26] Drs. H. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, hlm. 204.
[27] Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 93.

Tahamul Ada' Hadis

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggu...